Suasana pagi itu terasa begitu bising membuatku sesekali memejamkan mata.
"Mi, kaos kaki putih Eral di mana?" teriak seorang anak laki-laki yang berlari menuruni tangga.
"Mi, rok biru Arla mana?"
"Kan Ummi simpan di lemari, cari di lemari lah Eral. Rok Arla kan Ummi gantung di pintu, masa nggak kelihatan," jawabku pelan. Rasanya aku tidak mampu untuk sekedar menaikan suara.
"Oke!" jawab Arla, anak perempuanku yang kemudian kembali naik ke lantai atas, letak kamarnya berada.
"Nggak ada, Ummi," ucap anak laki-laki itu yang sudah berada di belakangku.
"Gimana mau ketemu kalau Eral nyarinya pakai mulut bukan pakai tangan sama mata. Coba cari dulu sana. Contoh adikmu tuh." Aku menatapnya dengan gemas seraya berkacak pinggang.
"Eral sudah cari dengan segenap kemampuan dan usaha, Mi. Tapi tetap nggak ketemu, dan satu lagi. Eral sama Arla itu beda! Jadi jangan membandingkan kami," Jawabnya dengan wajah polos.
"Iya iyaa maaf. Tapi awas aja kalau Ummi yang cari ketemu!" ucapku mendelikkan mata ke arahnya.
"Bawa sarapannya ke meja. Ummi mau cari kaos kakimu," perintahku yang kemudian dianggukinya dengan cepat.
Aku bergegas pergi ke lantai atas. Tepatnya ke kamar putraku.
Tanganku mengambil lipatan kecil berwarna putih yang terselip rapi di dalam lemari.
Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala dan berucap, "Katanya sudah dicari dengan segenap usaha tapi kok lemarinya masih rapi."
Setelahnya aku kembali merapikan lemari dan menutupnya.
"Dek," interupsi itu membuatku terkejut.
"Astagfirullah, Mas! Bisa nggak sih kalau datang nggak ngagetin gitu," sungutku menatap Hersa dengan kesal.
Hersa hanya tertawa pelan seraya menyisir rambutnya yang basah dengan jari.
"Kenapa? Mas cari apa?" tanyaku yang sudah tau tabiat suamiku yang malas sekali untuk mencari barang yang dibutuhkan akibatnya kebiasan buruk itu ditiru Eral.
"Dasi Mas di mana ya?" tanyanya pelan sambil sesekali melirikku lewat ekor matanya.
Aku memijat pangkal hidungku dan memejamkan mata sejenak.
"Mas, kan kemarin Mas yang simpan. Mana Iva tau," jawabku yang berusaha sabar.
"Mas lupa," ringisnya.
Oh ya ampun, dia terlihat manis jika seperti itu. Walaupun kadang suka membuat kesabaranku diuji tapi dia tetap memikat hati. Bagaimana aku tega memarahinya sedangkan dia juga tidak pernah marah atau berkata kasar padaku selama ini.
Aku melangkah mendekati tubuh tegapnya.
Tidak tau mengapa rasanya aku ingin sekali memeluk tubuh suamiku ini. Berada di dekapannya membuat perasaanku nyaman dan hangat.
Kurasakan tangannya mengusap pelan punggungku dengan sesekali mencium puncak kepalaku.
"Ana uhibbuka fillah, Mas," ucapku yang masih berada dalam dekapannya.
"Ana uhibbuki fillah, Sayang," balasnya yang seketika membuat perasaanku menghangat.
Aku melepaskan pelukan kami dan menatap mata birunya.
"Mas sarapan dulu ya, dasinya biar Ivanna yang cari. Titip ini buat Eral." Aku mengulurkan kaos kaki putih itu yang kemudian diterima Hersa dengan pandangan yang sulit ku artikan.
![](https://img.wattpad.com/cover/160569514-288-k32392.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
MY PERFECT HUSBAND (Revisi)
SpiritualCinta itu rasa yang tidak pernah bisa diterka pada siapa dia akan berlabuh, yang datang karena terbiasa bersama atau bisa jadi karena hal yang lainnya. Semua yang terjadi di dunia ini adalah atas izin dari sang maha Pencipta begitupun pertemuan anta...