Selama seminggu, Balqis menjalani harinya seperti biasa. Bergelut dengan dunia sekolah yang manis-asam-pahit, lingkungan rumah yang datar, dan khayalannya yang ribuan kali terlampau melebihi tinggi badannya.
"Qis, cepet! Pak Jos udah nyuruh kumpul di lapang." Kaila berujar di ambang pintu dan melangkah lebih dulu ke lapangan.
Balqis langsung bangkit. Olah raga adalah salah satu pelampiasannya ketika pikirannya sedang kacau. Bagaimana tidak kacau, pagi tadi, Niona mengajaknya pergi bersama menaiki mobil papa hanya untuk membuat Balqis panas hati.
Layaknya orang asing, Balqis hanya duduk di kursi belakang, menyaksikan canda tawa seorang papa dan anak yang mengasyikan. Entah harus berterima kasih pada Niona karena memberi tumpangan dan akhirnya berkesempatan mengalami diantar seorang papa, atau ia harus menyesali diri karena ikut bersama mereka, pada akhirnya, Balqis kembali mengalami sakit hati. Dirinya semakin bertanya, apa peran Selena di keluarga ini? Apa iya mereka nganggap Selena anak?
Semakin dipikirkan, maka malah semakin menyakitkan. Kini Balqis baris di jajaran tengah paling belakang yang dekat dengan barisan anak lelaki.
"Aqis, muka lo ditekuk mulu. Nanti mau ikut main bola, nggak?" tanya Zeidan yang selalu membaca ekspresi Balqis.
Balqis mengangguk. "Lagi butuh hiburan. Nggak ada niat buat hibur Aqis gitu? Beliin es krim atau permen, kek. Biar mood gue balik."
"Permen kaki mau nggak? Gue ada."
"Mau satu." Balqis menunjukan deretan giginya dengan tangan yang refleks terulur. "Bentar."
Zeidan mengernyit bingung kala Balqis membalikan telapak tangannya yang menggenggam permen dari telungkup menjadi telentang.
"Gue aja yang ngambil permennya dari tangan lo, ehe."
"Kenapa? Sama aja, pinter." Zeidan menebak-nebak keanehan apa lagi yang dilakukan Balqis dalam hati.
Balqis membuka bungkus permen kaki dan mengemutnya tanpa peduli ada guru yang menjelaskan materi tentang senam lantai di depan. "Kan, tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Gue, kan, mau yang lebih baik, jadi ngambilnya tangan gue harus di atas."
Zeidan berdecak. "Antara pinter dan bodo, lo cenderung ogeb."
Orang pada umumnya akan berpikir jika peribahasa itu memiliki makna, memberi lebih baik daripada menerima. Namun Balqis dan Kaila memiliki pemahaman tersendiri yang sesat.
Balqis tersenyum lebar. Mungkin senyum itu bisa merobek mulutnya karena terlalu ditarik hingga bibirnya sangat tipis. Matanya mengedip-ngedip konyol. "Iya, gue tau kalau gue cantik."
"Iya, lah, anaknya Ibu Luna sama Bapak Dirga, mah, cantik," puji Zeidan dengan maksud meledek gadis itu melalui nama orang tua.
Balqis sedikit melunturkan senyumnya. Namun senyum cerah tadi tergantikan dengan senyum semu. "Iya, gue cantik karena gua anak mereka, kan?" gumamnya pelan dengan hati yang tiba-tiba tak memiliki keyakinan.
"Balqis doang yang dikasih? Kakai juga mau."
Zeidan kembali merongoh celana olah raganya. "Mau samaan mulu. Liat lo sama Aqis udah kaya anak kembar. Segala disamain. Jangan sampe cowok yang disuka juga sama."
"Emang." Kaila menggambil permen dari tangan Zeidan. Tentu dengan teori cara menerima yang sama dengan Balqis.
Zeidan geleng-geleng kepala saat melihat Balqis dan Kaila malah beradu tos.
"Kita udah sepakat buat bagi satu cowok berdua," ujar Kaila seolah itu adalah kebanggan.
"Yoi, kita sepakat Choi Soobin TXT buat kita berdua!" seru Balqis sebagai pelengkap. "Ganteng, unyu, gemesin banget .... uwuuuuuuu Soobin ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
•❃𝐒𝐞𝐥𝐁𝐚𝐫𝐚❃•|✓
Teen FictionIni kisah tentang : ❃➻Balqis dan Baskara ❃➻Dengan panggilan Selena dan Bara ❃➻Anak K-pop dan anak game ❃➻Anak basket dan anak karate ❃➻Si takut tatapan dan si mata tajam ❃➻Si cuek dan si cari perhatian ❃➻Si ceroboh dan si teliti ❃➻Si bulan dan si ma...