Alex keluar dengan menyunggingkan sebuah senyuman. Pria itu bahagia, sangat bahagia. Keinginannya untuk menyetubuhi Gaby telah terlaksana. Bahkan dia tidak merasa bersalah sedikitpun karena telah membuat Gaby tidak lagi perawan. Seperti biasanya, ia merasa sangat puas. Tapi kali ini dia jauh lebih puas dengan Gaby. Perasaannya begitu senang. Entahlah! Padahal sebelumnya dia tidak pernah sepuas ini ketika selesai menyetubuhi orang lain. Tapi Gaby beda. Dia masih begitu suci. Alex menyukai itu.
Sedangkan di dalam kamar air mata Gaby enggan untuk berhenti. Wanita itu menatap kosong ranjang yang semalam menjadi hal yang begitu memalukan bagi Gaby. Air matanya kian deras kala ia mengingat kejadian semalam.
"Ashhhh... Ahhhhhh... Sa...kittt.. Awhhh... Aishh.. Ahhh...." Desah Gaby tepat disaat Alex memasukkan kejantanannya kedalam pusat kewanitaan Gaby.
"Tenanglah sayang, aku akan pelan-pelan. Nikmati saja malam ini!" kata Alex sambil menggoyangkan pinggulnya naik turun secara perlahan.
Dusta!
Memang awalnya Alex bermain secara perlahan. Namun setelah mereka orgasme untuk pertama kalinya, Alex bermain secara brutal. Bahkan dia memompa Gaby sampai gadis itu kesulitan untuk menghirup oksigen di ruangan yang besar itu. Tangisan Gaby pun tidak menyurutkan semangat Alex untuk tetap melanjutkan permainannya.
"Hen... Tikan... Please... Ahhh." Untuk kesekian kalinya Gaby memohon untuk menghentikan kegilaan Alex. Dan untuk kesekian kalinya juga Gaby mendesah karena sentuhan Alex yang begitu membuatnya terangsang.
Alex menyeringai ketika ia melihat wajah Gaby yang bisa pasrah di bawahnya. Dan ketika Alex memperlambat ritme permainannya justru itu semakin menyakiti Gaby.
"Fas... Terr.. Please... Ahhhh..."
Itulah hal memalukan bagi Gaby. Dengan tidak langsung, wanita itu ingin jika Alex tetap melanjutkan kegiatan itu di atasnya.
Naif?
Gaby memang begitu naif. Sebenarnya dia juga menikmati permainan Alex. Setiap sentuhan Alex membuatnya terangsang. Ini adalah pertama kalinya. Dan Gaby baru merasakan itu.
Namun harga diri Gaby diatas segala-galanya. Harga dirinya telah hancur. Begitupun hidupnya. Dia benar-benar tidak menyangka dunia sekejam ini. Dunia seakan mempermainkan hidupnya. Lagi dan lagi.
Kembali ke keadaan sekarang. Gaby menjambak rambutnya sendiri secara kasar. Ia begitu frustasi dengan Alex yang mempersulit hidupnya. Dia begitu marah pada dirinya sendiri. Kenapa? Kenapa bisa dia terjerat dengan seorang laki-laki muda seperti Alex Dallas. Kenapa Gaby bisa dengan mudah percaya kepada orang asing.
"Arghhhh...." Gaby berteriak histeris di dalam kamar itu. Kamar Alex adalah salah satu kamar yang kedap suara, jadi mustahil jika teriakan Gaby terdengar sampai luar.
Kecuali jika pintunya tidak tertutup rapat.
Mata Gaby mengedar ke seluruh ruangan. Mata yang masih dibanjiri oleh air yang mengalir deras dari sana. Netra gadis itu berhenti pada sebuah meja dekat sofa panjang. Gadis itu bangkit. Mengusap kasar matanya, agar cucuran air mata itu berhenti.
Dia melangkah dengan gontai. Rasa sakit di area kewanitaannya masih begitu terasa. Namun ia memaksakan untuk berjalan, walau tertatih-tatih.
Terdapat buah-buahan segar di atas meja tersebut. Lengkap dengan pisaunya yang tajam. Gaby mengambil pisau tersebut.
Kaki Gaby terus bergerak. Tatapannya masih kosong. Dirinya terlihat begitu berantakan. Rambut acak-acakan. Wajah yang begitu lelah. Dan air mata yang sedari tadi menemaninya dalam ruangan tersebut.
Gaby membuka tirai putih. Disana terdapat sebuah pintu yang dapat menembus langsung melihat pemandangan kota New York. Gaby membuka pintu kaca besar itu secara perlahan. Dan menapakkan kakinya keluar dari ruangan besar yang begitu pengap menurut Gaby.
Udara pagi hari menerjang kulit Gaby. Pagi ini begitu cerah. Matahari terpampang begitu sempurna di ufuk timur. Dia seakan tersenyum kepada dunia. Mencerahkan hati para manusia. Tapi tidak dengan Gaby. Gaby merasa bahwa matahari itu menertawakan dirinya. Menertawakan kehidupannya. Dunianya tidak secerah dulu. Kini gelap. Begitu gelap. Senyuman itupun telah hilang. Digantikan oleh beragam tangisan.
"Arghhhhh....." Lagi-lagi Gaby berteriak histeris sembari menjambak rambutnya sendiri.
"Kau kejam. Kenapa harus aku? Kenapa? Hikss.. Hikss.." Teriak Gaby menunjuk pada sang mentari.
Bahkan Gaby tidak peduli dengan silaunya matahari yang menerpa matanya. Pikirnya mungkin dengan begitu, matanya lekas mengering. Air matanya enggan untuk jatuh. Tapi nyatanya tidak. Air mata itu justru enggan untuk berhenti. Tetesan air mata itu seakan mencurahkan betapa hancurnya Gaby saat ini. Hancur harga dirinya begitupun hidupnya. Gadis itu sudah rusak. Dan Alex lah yang merusaknya. Gaby benci dengan Alex. Sangat benci.
"Matahari, apa kau bisa mengatakan kepada dunia jangan terlalu kejam? Apa kau bisa memberikanku satu keadilan? Apakah aku tidak berhak untuk bahagia? Kenapa harus aku yang menanggung semuanya? Kenapa kau memberikan semua cobaan ini kepadaku? Matahari apa kau bisa menyampaikan pesanku? Pesanku untuk Tuhan? Katakan kepadanya bahwa sampai detik ini aku meyakininya. Tapi bisakah aku mendapatkan setitik kebahagiaan darinya? Bisakah kebahagiaan yang dulu kurasakan kembali lagi? Bisakah penderitaan ini lekas sirna? Bisakah dia memberiku keadilan? Katakan kepadanya, tolong kembalikan hakku. Hak atas kebahagiaan dan keadilan. Aku bosan seperti ini. Aku bosan dengan penjara dunia. Aku bosan dengan semua kekangan. Aku ingin berdiri dengan kakiku sendiri. Apa salah aku menginginkannya?"
Gaby semakin menggenggam kuat pisau yang ada di tangannya. Dan mencengkram kuat pembatas balkon tersebut.
Gaby menunduk. Memegang kepalanya yang terasa berat.
Gaby tersenyum kecut. "Iya, salahku adalah bertemu dengan seseorang bernama Alex. Salahku adalah mempercayainya dengan mudah. Salahku adalah meninggalkan ayah bersama ibu tiri dan saudari tiriku. Semua ini berasal dari kesalahanku, aku tau itu. Aku menyesal pergi dari mereka dan memilih kesini. Aku menyesal meninggalkan ayahku. Tapi aku juga tidak tahan tinggal bersama ibu tiriku. Tuhan, kau pasti mengertikan? Maafkan aku." lirih Gaby.
"Matahari sampaikan juga pesanku untuk Daddy. Aku menyayanginya sampai kapanpun. Dan aku meminta maaf karena pergi begitu saja. Maafkan aku Dad."
Gaby menghembuskan nafasnya secara kasar. Ia sudah pasrah. Ketika ia mencoba bangkit, hal memalukan itu terlintas di pikirannya. Itu semakin menyakiti harga dirinya.
Dia mencoba berpikir logis. Dia seperti berada dalam penjara. Dia berada dalam kukungan Alex. Dan begitu sulit untuk lepas darinya. Begitu mustahil!"Tidak ada gunanya lagi aku hidup. Aku tidak akan mungkin bisa keluar dari rumah ini. Setidaknya dengan cara ini, aku bisa pergi jauh. Jauh dengan Alex, pria brengsek. Selamat tinggal dunia. Hanya satu pesanku. Jangan terlalu kejam dengan manusia."
"Sudahlah, aku terlalu banyak bicara. Ini adalah kata terakhirku. Selamat tinggal matahari."
Gaby tersenyum sambil mengarahkan pisau tersebut ke tangan kirinya. Menempelkannya di pusat nadinya.
Sebelum dia pergi dari dunia ini. Dia ingin tersenyum kepada dunia. Menunjukkannya bahwa dia bisa tersenyum walau hal terburuk datang menghadang. Gaby memejamkan matanya.
"Akhhhhh...."
Detik itu juga darah segar mengalir ke lantai.
Bersambung....
Dorrr...
Gaby meninggal? Huaaaaa 😭😭😭
Sabar ya Gaby!
KAMU SEDANG MEMBACA
You Are Mine | 18+
RandomFollow dulu sebelum membaca! (privat • random) SILENT READERS DILARANG MENDEKAT 📛 Warning: 18++ BIJAKLAH DALAM MEMILIH BACAAN!!! Ini kisah Gabriella Alinski (20), seorang gadis cantik yang memasuki kota baru negara baru berniat ingin mencari ke...