Chapter-36

54.6K 1.6K 10
                                    

Sentuhan lembut Gaby rasakan di pucuk kepalanya. Sentuhan itu pula yang membuyarkan semua lamunannya. Netra Gaby menangkap sosok Alex yang telah duduk dibelakangnya.

"Aku mencarimu," bisik Alex.

Kedua lengan kekarnya telah melingkar sempurna di perut rata Gaby. Alex meletakkan dagunya di bahu Gaby. Sesekali menghirup aroma rambut wanita itu. Baginya itu sangat menenangkan.

Gaby masih menatap lurus ke depan. Tepatnya pada gulungan ombak yang menyapu pasir putih di depannya. Suara ombak yang tenang membuat kedamaian tersendiri pagi itu. Tapi Gaby tak dapat merasakan kedamaian itu. Batinnya gelisah. Ada kecemasan tersendiri yang tergambar di raut wajahnya jika diperhatikan dengan saksama. Namun dia berusaha tenang agar Alex tidak mengkhawatirkannya.
Gaby tidak ingin merusak liburan yang telah Alex rencanakan. Dia juga tidak ingin membuat lelaki yang berada di belakangnya itu khawatir. Beragam pertanyaan Gaby simpan sebaik mungkin. Berbagai pikiran-pikiran yang mengusiknya akhir-akhir ini dengan susah payah ia hilangkan.

Nihil. Tetap saja memori perkataan sang ayah tetap berputar-putar di otaknya. Sangat mengganggu pikirannya.

Dengan sekuat tenaga Gaby mencoba bersikap biasa saja. Entah Alex yang terlalu pintar atau Gaby yang tidak pandai berbohong. Yang jelas Alex dapat melihat dan merasakan jika saat ini Gaby dalam keadaan 'tidak baik-baik saja'.

"What do you think? Hm?" tanya Alex akhirnya setelah hening beberapa saat lalu.

Gaby menunduk. Meski Alex tidak melihat wajahnya karena pria itu berada di belakangnya, Gaby tetap saja merasa Alex sedang memperhatikannya. Ia tidak ingin Alex melihat jika matanya telah berkaca-kaca.

"I love you, Alex," lirih Gaby.

Alex membelai surai Gaby dengan lembut sebagai jawaban 'me too'. Alex juga sangat mencintai Gaby. Lagi, lagi, dan lagi. Akan selalu bertambah setiap harinya.

"Apa kamu akan tetap disampingku?"

Entah kenapa pertanyaan itulah yang keluar dari mulut Gaby tanpa sadar.

Alex melepaskan tautan jemarinya di perut Gaby. Bingung dengan pertanyaan yang baru saja Gaby lontarkan. Mengapa Gaby bertanya seperti itu? Apa dia meragukan cinta Alex selama ini?

Alex memilih berpindah tempat di samping wanita itu agar ia dapat melihat wajah Gaby.

Alex menatap Gaby yang berada di sampingnya. Kini pandangannya berpusat penuh pada wanita itu.

"Kenapa bertanya seperti itu?" Alex balas bertanya. Meski pelan namun nada dingin itu tetap kentara.

Jujur, Gaby ingin memantapkan hatinya tentang pilihan yang cukup sulit itu. Ini tentang orang tua dan kisah cintanya. Gaby sangat dilema memikirkan semua itu. Tentang perjodohan yang ayahnya atur tempo hari atau tentang Alex, cinta pertamanya. Seseorang yang berhasil mengembalikan kebahagian Gaby. Seseorang yang telah berhasil membuat hidup Gaby kembali berwarna.

"Daddy or Alex? Oh God, please give me the right answer," batin Gaby berharap.

Jika ia memilih perjodohan itu ia harus meninggalkan Alex. Sedangkan jika ia memilih tetap bersama Alex, Gaby takut akan kembali mengecewakan ayahnya.

Gaby butuh kepastian dari Alex. Ia butuh jawaban apakah Alex akan tetap disampingnya atau tidak. Sehingga keputusan yang akan ia pilih tidak salah.

"Apa kamu punya rencana akan meninggalkanku?" Lagi. Pertanyaan itu meluncur dengan sendirinya dari bibir Gaby. Sedetik kemudian Gaby memejamkan matanya. Merutuki pertanyaan bodohnya itu.

Pertanyaan itu sama saja ia meragukan Alex. Meragukan cintanya selama ini. Bodoh, bodoh, bodoh. Gaby merutuki dirinya sendiri.

Tapi mau bagaimana lagi? Gaby membutuhkan jawaban itu untuk memantapkan pilihannya.

"Dengar!" Alex menatap dalam manik mata Gaby. "Aku sama sekali tidak memiliki rencana itu. Tidak sama sekali," ujar Alex penuh penekanan.

Sedetik kemudian Alex menarik tubuh Gaby dalam pelukannya. Memeluk tubuh mungil Gaby yang terlihat rapuh. Memberinya ketenangan dalam dada bidangnya. Tangannya tetap mengelus rambut Gaby yang tergerai itu.

"Jangan pernah meragukanku!" tekan Alex. Mendengar itu Gaby menunduk malu.

Alex mengangkat wajah Gaby. Menyuruhnya untuk menatap manik mata Alex. Keduanya beradu tatap dalam diam. Seolah tatapan itu dapat memberi jawaban atas pertanyaan keduanya.

Dari tatapan itu Alex dapat menyimpulkan bahwa Gaby sedang ada masalah. Hanya saja wanita itu belum bisa menceritakan hal itu kepadanya.

Sedang bagi Gaby ia sudah menemukan jawabannya dari tatapan itu. Tatapan lembut penuh cinta. Gaby dapat melihatnya dengan jelas dari mata Alex.

"You are mine and I'm yours,

"Kita tidak dapat dipisahkan, bahkan dunia sekalipun." Ucapan Alex memecah keheningan.

"Bagaimana jika kita tidak bisa bersatu? Bagaimana jika aku yang meninggalkanmu? Bagaimana—" Gaby masih saja cemas.

Gaby tak dapat lagi melanjutkan pertanyaan-pertanyaan itu. Hatinya sudah cukup sakit membayangkan hidupnya tanpa Alex. Apalagi jika harus berpisah sungguhan. Apakah dirinya masih bisa bertahan dalam kerasnya dunia jika yang membuatnya bertahan sudah tak ada lagi disampingnya?

"Setiap pasangan memiliki tempatnya sendiri. Meski berpisah, jika jodoh pasti akan kembali.

"Do you believe if love knows where the house?

"Cinta tau siapa pemiliknya. Kamu cukup percaya dengan itu semua. Jika kamu takdir yang Tuhan berikan untukku, kita akan tetap bersama meski banyak orang yang menentang cinta kita." cecar Alex.

Alex membelai lembut pipi Gaby. Senyuman tipisnya membuat Gaby jauh lebih tenang.

Dulu Alex memang jauh dari kata-kata dramatis seperti itu. Sebelum mengenal Gaby dia jauh dari kata cinta. Tidak. Lebih tepatnya menjauhkan diri dari kisah cinta. Namun Gaby telah merubah prinsip pria berhati batu itu. Perlahan Alex mulai berubah. Pria kejam berhati dingin itu sudah tak Gaby rasakan lagi. Saat bersama dirinya Alex bersikap sangat hangat hingga membuatnya begitu nyaman berada di dekatnya.

***


Martin sudah kembali ke New York atas perintah Alex. Disana, di tempat penginapan yang didominasi warna coklat itu terlihat sepi. Hanya ada beberapa pelayan yang berseliweran membersihkan rumah. Namun itu sama sekali tidak mengganggu Alex maupun Gaby.

Kini keduanya tengah berada di meja makan. Sebenarnya keduanya sudah selesai makan, hanya saja mereka masih ingin berada di tempat tersebut. Suasananya masih saja hening. Baik Alex maupun Gaby tidak satupun yang mengeluarkan suara sejak mereka menginjakkan kakinya di ruang makan itu.

"Aku pergi ke kamar dulu," pamit Gaby. Alex mengangguk sebagai jawaban.

Suasana liburan kali ini sama sekali tak Alex rasakan. Gaby masih saja terlihat murung meski ia sudah mengajaknya ke tempat seperti ini. Tempat yang begitu ingin Gaby kunjungi ketika berada di Amerika.

Liburan ini bukan hanya untuknya, melainkan juga Gaby. Ia ingin Gaby dapat melepaskan beban pikirannya meski hanya sementara. Seperti yang Alex lakukan saat ini.

Setelah sampai kamar Gaby mencari ponselnya. Menekan ikon kontak untuk mencari nomor seseorang.

Namun belum sempat ketemu, ada panggilan masuk yang membuatnya harus menghentikan pencariannya.

Daddy is calling...

Tadi Gaby sedang mencari kontak dengan nama itu. Entah kebetulan atau apa nomor yang ia hubungi menghubunginya lebih dulu. Tanpa pikir panjang Gaby menekan tombol berwarna hijau, menyatakan jika ia menerima telepon dari sang ayah.

"Hallo?"

***

You Are Mine | 18+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang