Terlihat sejumlah kuli bangunan berkeringat lelah merenovasi asrama putra bagian barat, membuat penempatan penghuni kamar terpaksa dipadatkan.
Bu Jenita mengantar Leon menyusuri lorong. Beliau terhenti di depan pintu sebuah kamar yang terletak paling ujung, kemudian memasukkan kunci master dan membuka pintu.
"Untuk sementara, kamu tidur di sini sampai renovasi asrama selesai. Ya sekitar tiga bulan lah," jelas Bu Jenita. Beliau mempersilahkan Leon masuk untuk melihat-lihat.
"Wooaaah. Kamar ini bagus banget, Bu," kata Leon takjub.
"Tentu saja. Kamar ini dua kali lipat lebih luas dibanding kamar yang lain."
"Kok bisa, Bu?"
"Ini kamar siswa dari Kelas Unggulan. Mereka memang mendapatkan perlakuan khusus dari sekolah."
"Enak banget ya, Bu."
Leon adalah anak yatim piatu sejak kecil. Dia dibesarkan oleh orang tua angkat yang berasal dari kalangan menengah. Kamar di rumahnya hanya seluas 4 meter persegi. Berbeda jauh dengan kamar asrama yang ia taksir seluas 30 meter persegi dengan perabotan lengkap dan kamar mandi dalam.
"Kamu akan sekamar dengan Melviano Kalandra. Bisa kamu panggil Alan. Dia anak yang baik kok. Jadi kamu nggak perlu sungkan ya," imbuh Bu Jenita.
"Itu orangnya ya, Bu?" Leon menunjuk seorang cowok yang berdiri di ambang pintu dengan tatapan datar.
"Eh Alan sudah datang," kata Bu Jenita.
Alan tidak bertanya apa-apa dan langsung memasuki kamar lalu menaruh tas ranselnya di atas kasur. Dia sudah tahu tentang kabar pemadatan penghuni asrama putra karena Delton mengadakan renovasi besar-besaran. Wajar jika dia kini harus menerima teman sekamar.
"Begini, Al. Kamu kan tau sendiri kalau asrama Delton mengalami renovasi besar-besaran. Jadi mulai sekarang, kamu harus berbagi kamar dengan anak ini." Bu Jenita memegang pundak Leon. "Namanya Putra Leonardo Manggala. Panggil aja Leon. Yang akur ya."
"Hm." Alan mengangguk malas.
"Ya sudah. Saya tinggal dulu."
Setelah Bu Jenita pergi, Leon mengulurkan tangannya pada Alan.
"Kenalin, nama gue Leon," kata cowok berkulit kuning langsat itu.
"Nggak usah terlalu formal." Alan mengabaikan uluran tangan itu, membuat Leon tersenyum kecut.
"Gue dengar ... lo anak K-U ya?" tanya Leon memulai topik pembicaraan. Dia membuka resleting kopernya dan bersiap mengeluarkan barang-barang.
Tidak ada sahutan. Alan malah sibuk bermain game di ponselnya.
"Waaah kalau lo anak K-U, berarti lo pintar dong. Boleh dong minta ajarin soal-soal Ujian Nasional," sambung Leon ceria.
"Gue nggak menerima les gratis," timpal Alan sinis. Kalimat itu tentu saja terasa menohok untuk Leon.
"Ya elah pelit amat jadi orang." Leon beranjak. Dia menaruh pakaian-pakaiannya di dalam lemari.
"Di kamar ini ada peraturan."
"Oh ya?" Leon menoleh sumringah, akhirnya Alan menimpali ucapannya. "Peraturan apa?"
"Pertama, dilarang berisik. Kedua, dilarang jorok. Ketiga, dilarang mengganggu gue."
"Contohnya?"
"Contohnya sekarang. Lo berisik. Berhenti ngajak gue ngomong!"
Leon meneguk ludah. Tak ia sangka jika nasibnya begitu apes hingga dipertemukan dengan teman sekamar yang begitu dingin.
"Apa dia dilahirkan dari dalam perut kulkas?" Leon mendesis kesal dan meneruskan aktivitasnya menata barang-barang.
Leon diam-diam melirik ke arah Alan. Matanya menyipit, bertanya-tanya bagaimana mungkin wajah teduh itu ternyata begitu dingin.
"Pasti dia terlalu sering terluka seperti gue," tebaknya.
Leon menutup pintu lemari setelah semua barang-barangnya tertata rapi. Dia merebahkan tubuhnya di atas kasur dan menatap langit-langit kamar. Kalau dipikir-pikir lagi, sepertinya tadi dia mengenal salah seorang gadis yang merupakan teman sekelasnya saat duduk di bangku sekolah dasar.
"Gue kenal sama cewek cantik itu. Namanya Laurin. Gue ingat betul siapa dia. Ya Tuhan, kenapa dunia ini begitu sempit? Kalau dia sampai mengenali gue, entah apa yang bakalan terjadi sama gue. Pokoknya, gue nggak boleh biarin dia tau kalau gue adalah teman sekelasnya pas SD. Gue nggak mau rahasia gue terbongkar."
Alan meletakkan ponselnya di nakas meja, melepaskan jas almamater, melonggarkan dasi, lalu melepaskan satu per satu kancing kemejanya. Dia lantas berjalan santai memasuki kamar mandi.
"Ya Tuhan, cowok macam apa dia? Bisa-bisanya dia nggak punya urat malu bertelanjang dada kayak gitu di depan orang," keluh Leon kaget. Selama ini Leon dididik oleh orang tua angkat yang memegang teguh etika berpakaian. Wajar jika Leon terkejut saat melihat Alan yang bertelanjang dada di hadapannya tanpa tahu malu.
Sekitar 15 menit mengantri kamar mandi, akhirnya Alan keluar dengan hanya mengenakan selembar handuk.
"Ingat, jangan jorok!" kata Alan mengingatkan.
"Iya."
Leon cepat-cepat memasuki kamar mandi, mengunci pintu, lalu membuka sebuah kresek hitam, mengeluarkan sesuatu, lalu tersenyum lega.
"Nggak boleh ada seorang pun yang tau kalau gue bawa benda kayak beginian di sekolah." Leon terkikik.
Setelah sepuluh menit berada dalam kamar mandi, Leon keluar. Dia terlihat menyembunyikan sebuah kresek hitam di balik punggungnya. Anehnya, dia cepat-cepat keluar kamar. Tentu saja gelagat cowok itu begitu mencurigakan bagi Alan.
"Anak itu aneh banget," batin Alan.
Leon memegang dadanya yang kembang kempis ketakutan. Dia tak mau rahasianya terbongkar begitu saja karena dia sudah menyembunyikan sejumlah fakta selama bertahun-tahun.
"Alan nggak boleh tau siapa gue sebenarnya. Mulai sekarang, gue harus lebih hati-hati," batin Leon penuh tekad.
***
Zaimatul Hurriyyah
Kamis, 13 Juni 2019INSTAGRAM = zaimatul.hurriyyah
Siapa Leon? Kenapa dia penuh misteri?
KAMU SEDANG MEMBACA
K-U season 2
Teen FictionMelviano Kalandra, cowok pendiam yang menyimpan sejuta luka karena terlahir dalam keluarga yang berantakan hingga membuatnya memilih tinggal di asrama sekolah. Lukanya bertambah perih ketika gadis yang disukainya jatuh hati pada Rega yang merupakan...