36. Gembong Narkoba

9K 1K 339
                                    

Siapa yang mau update lagi nanti malam? Caranya komen 300++

🙏🙏🙏🙏🙏

Alan berdehem ketika memasuki kamar. Rasanya begitu canggung mengetahui kalau Leon adalah seorang perempuan. Walaupun tidak seranjang, tetap saja Alan merasa aneh dan membuatnya bertanya-tanya apakah Leon merasakan hal yang sama.

"Eh gue mandi dulu ya." Leon melemaskan lehernya dan berjalan menuju kamar mandi.

Alan merasakan degupan di dadanya yang melaju lebih cepat dari biasanya. Dia mengecek dadanya, dan benar! Di sana ada sesuatu yang tak wajar. Persis saat ia dekat dengan Laurin dulu.

Jatuh cinta bukanlah hal yang pertama kali Alan rasakan. Sekarang dia mengerti perasaannya bahwa dirinya sudah berpaling dari Laurin karena Leon, gadis yang entah mengapa menyamar menjadi sosok laki-laki.

"Gue harus gimana nih? Kalau tanya langsung, entar bisa-bisa dia langsung pindah sekolah. Kalau gue pendam lama-lama, gue takut keduluan orang. Kalau gue bilang suka sama dia tanpa mengungkap rahasianya, entar gue dikira sesat." Alan mengacak rambutnya.

"Au ah. Gue bingung!" Alan merebahkan tubuhnya di atas kasur, melihat langit-langit kamar dengan tatapan kosong.

"Eh Al. Lo nggak mandi?" tanya Leon yang keluar dari kamar mandi dengan rambut basah. Leon berjalan menuju ranjangnya sambil menggosok-gosok rambutnya dengan handuk.

"Em ... i ... iya." Alan berdiri lalu cepat-cepat memasuki kamar mandi.

Ddrrrt ... Ddrrrt

Ponsel Leon bergetar, pertanda ada panggilan masuk. Senyum Leon mengembang lebar saat melihat tulisan 'Papa' di layar ponselnya.

"Halo, Pa?" sapa Leon setelah mengangkat panggilan.

"Halo, Yon. Gimana kabar kamu, Nak?"

"Alhamdulillah. Aku baik-baik saja, Pa."

"Apa kamu tidak sibuk?"

"Em ... enggak, Pa. Kenapa?"

"Papa mau ngomong penting sama kamu."

"Ya ngomong aja, Pa."

"Papa nggak bisa ngomong lewat telepon. Papa takut disadap. Kita ketemuan di kafe dekat asrama kamu saja ya."

"I ... iya, Pa."

Tuuut

Panggilan pun berakhir. Dahi Leon berkernyit heran. Tak biasanya Papa angkatnya menolak untuk bicara lewat telepon. Pasti ada hal yang sangat penting sehingga hal tersebut tidak bisa dikatakan lewat telepon.

Leon pun bergegas menuju kafe yang tak jauh dari asrama putra. Sesampainya di sana, mata Leon memicing, melihat seorang pria paruh baya bertopi abu-abu yang duduk di meja paling ujung, jauh dari keramaian pengunjung yang lain.

"Papa?" sapa Leon menghampiri pria paruh baya itu lalu mencium tangannya.

"Papa kangen kamu, Nak," kata pria itu.

"Aku juga kangen Papa," timpal Leon manja. Hanya pada Papa angkatnya, dia bisa bersikap seperti selayaknya anak perempuan.

Nama pria itu Mardian, seorang pria yang berprofesi sebagai guru biasa di salah satu SMA ternama di Surabaya. Pak Mardian sudah menganggap Leon sebagai anak kandungnya sendiri sejak dia resmi divonis mandul oleh dokter. Baginya, Leon adalah anugrah dari Tuhan di saat ia dan istrinya sudah berputus asa. Mereka menemukan gadis kecil di pinggir sungai saat mereka ingin menghirup angin segar di pagi hari.

"Pa, ngomong-ngomong ... Papa mau bicara apa?" tanya Leon.

Pak Mardian menengok ke kanan dan ke kiri, memastikan tidak ada orang di sekitarnya yang mendengar. "Begini, Papa sudah meminta bantuan teman Papa untuk menguraikan data di chip milik almarhum orangtua kandungmu."

Leon meneguk ludah. Dia menyimak dengan seksama apa yang Pak Mardian katakan.

"Dan hasilnya sangat mengejutkan," imbuh Pak Mardian.

"Apa hasilnya, Pa?" tanya Leon dengan suara gemetar. Chip itu adalah bagian dari masa lalunya, satu-satunya barang bukti untuk mengungkap siapa pelaku yang membunuh kedua orang tuanya.

"Ternyata, almarhum Papa kamu adalah kepala BNN Surabaya. Dan Mama kamu juga anggota BNN. Chip ini adalah barang bukti yang mereka miliki untuk mengungkap gembong narkoba yang merupakan otak dari seluruh peredaran narkoba di negara kita," jelas Pak Mardian setengah berbisik.

"Kalau chip itu sudah bisa diuraikan, kenapa kita nggak langsung serahkan ke polisi aja atau kepala BNN?"

"Masalah ini nggak sesederhana itu. Gembong narkoba yang ingin orangtuamu tangkap bukanlah orang biasa. Dia adalah salah satu orang terkaya di Asia tenggara. Bahkan kekayaannya melebihi para sultan."

"Si ... siapa?"

"Tuan Kalandra."

Mata Leon melebar. Nama Kalandra terdengar tidak asing di telinganya. Iya. Nama itu sama persis dengan nama belakang Alan. Semoga saja gembong narkoba yang Pak Mardian maksud tidak ada sangkut pautnya dengan orang yang ia cintai.

"Orang yang bernama Kalandra itu memiliki banyak koneksi orang dalam. Untuk menangkapnya, kita tidak bisa gegabah. Apalagi kita cuma rakyat kecil," jelas Pak Mardian.

"Tapi kita harus segera menangkap orang itu, Pa. Sebelum para generasi muda Indonesia dirusak narkoba," geram Leon marah.

"Leon, Papa mengerti keresahan kamu. Papa mengerti kamu marah. Tapi kita cuma rakyat kecil. Masalah ini bukanlah soal pembunuhan biasa. Tapi masalah ini berurusan dengan gembong narkoba yang berbahaya. Kalau kita gegabah, nyawa kita akan jadi taruhannya. Apa kamu ngerti?"

"Terus kita harus gimana, Pa? Apa kita harus menunggu ada korban lagi? Apa kita harus nunggu negara ini hancur karena narkoba?"

"Pertama-tama, kita harus mencari orang kuat yang bisa kita percaya untuk menangkap gembong narkoba itu."

Leon menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya, mencoba mengendalikan amarahnya. Dia mengangguk setuju dengan saran Pak Mardian.

🙏🙏🙏🙏🙏
Zaimatul Hurriyyah
Sabtu, 17 Agustus 2019

K-U season 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang