32. Heboh

9.4K 902 99
                                    

Bu Widya memasuki ruang K-U3 dengan membawa sejumlah kertas hasil ulangan seraya menyapa murid-muridnya.

"Selamat pagi, anak-anak."

"Selamat pagi, Bu," sahut para siswa-siswi K-U3.

"Baiklah. Hari ini saya mau membagikan hasil ulangan kemarin."

"Semoga aku mendapatkan nilai 100." Sharfi berdo'a pelan.

"Nilai tertinggi diraih ...."

Rega tersenyum. Dia bersiap berdiri.

"Selamat, Elvan," lanjut Bu Widya. "Nilai kamu 100."

Rega tercekat kaget. Seluruh kelas mendadak heboh. Sepanjang sejarah, baru kali ini Elvan bisa mengalahkan seorang Arkharega Argantha. Apalagi pada pelajaran matematika.

"Gila! Elvan dapat nilai 100?" mata Sharfi terbelalak tak percaya. Meskipun Elvan juga termasuk siswa jenius, tapi biasanya dia unggul di bidang fisika.

Elvan melirik Rega dengan tatapan sinis. Tak lupa juga ia tersenyum meremehkan.

"Jangan lupa perjanjian kita ya, Ga," kata Elvan mengingatkan. Kemudian berjalan menuju Bu Widya untuk mengambil kertas ulangan.

Tangan Rega mengepal marah. Dia mulai kembali takut kehilangan Laurin. Kalau sampai nilai-nilai yang diperoleh Elvan banyak yang lebih bagus darinya, tak menutup kemungkinan posisinya sebagai peringkat pertama akan direbut.

"Selamat ya, Elvan. Tetap pertahankan nilai kamu." Bu Widya memberikan hasil ulangan Elvan.

"Iya, Bu," timpal Elvan. Lalu kembali ke bangkunya.

"Nilai tertinggi kedua ... Alan," sambung Bu Widya.

Lagi, kelas unggulan kembali heboh. Bertanya-tanya kenapa bukan Rega yang mendapatkan nilai tertinggi kali ini.

"Ga." Vikram mencolek punggung Rega dengan bulpoin. "Otak lo mengempis ya?"

"Tau nih. Tumben banget lo nggak berada di puncak," ejek Arsen terkikik.

"Diam lo, setan!" Rega melempar pensil ke arah Arsen. Dengan sigap, Arsen menghindar.

"Yaelah marah."

"Berikutnya, Rega," panggil Bu Widya.

Rega melangkah menghampiri Bu Widya dan menerima hasil ulangan. Dilihatnya angka 96, lalu dia mengumpat dalam hati. Karena kurang teliti, dia menemukan ada dua kolom pilihan ganda yang belum ia jawab.

"Sial! Kenapa gue jadi nggak teliti gini sih?" umpat Rega penuh sesal.

Rega kembali ke tempat duduknya dengan hati was-was. Kehilangan Laurin seperti kemarin sudah cukup membuatnya frustrasi. Dia tak mau kehilangan Laurin lagi. Lagi, dia menyesali kesombongannya karena telah meremehkan kemampuan Elvan.

"Lain kali gue harus lebih ekstra belajar. Gue nggak mau kalau Elvan memenangkan taruhan itu," batin Rega.

Pelajaran yang diajarkan di kelas unggulan tidak seperti pelajaran-pelajaran di kelas biasa. Materi yang diajarkan dan diujikan jauh lebih sulit karena mereka memang dibina untuk bertanding ke berbagai olimpiade. Wajar jika orang jenius sekali pun merasa cukup kesulitan mendapatkan nilai sempurna.

***

Hari-hari yang dilalui Alan terasa sangat kosong. Celoteh Leon yang biasa ia dengar setiap hari, kini tak ada. Kamarnya kembali sepi seperti sedia kala. Bukankah dia selalu bersahabat dengan sepi? Tapi kenapa sekarang dia membenci sepi?

"Kenapa ... kenapa gue pengen tuh anak balik ke kamar ini lagi ya?"

Alan selalu bertanya pada dirinya sendiri. Dan sering kali ia tak menemukan jawaban. Ribuan pertanyaannya berakhir ambigu. Membuatnya frustrasi mengacak rambutnya kesal.

Alan memutuskan untuk berkunjung lagi ke kamar Leon di koridor F. Langkah kakinya tercekat. Pintu kamar Leon tampak sedikit terbuka. Dia mengintip sedikit di celah pintu dengan mata terbelalak.

"Bejooo! Balikin ih! Balikin HP gue!" Leon mengejar Bejo, melompat-lompat mencoba meraih ponselnya yang diangkat Bejo tinggi-tinggi.

"Ogah! Gue mau lihat apa elo punya pacar atau enggak." Bejo mulai membuka layar ponsel Leon yang memang tidak disandi.

"Bejo, balikin!"

"Bentar ah."

Keakraban Leon dan Bejo benar-benar mengusik Alan. Dadanya berdenyut sakit. Sesak entah sejak kapan datang menghardik. Alan sangat tahu disebut apakah perasaan sakit itu. Dia pernah merasakan sebelumnya. Rasanya seperti melihat keakraban Laurin dan Rega.

"Apa aku sudah gila?" maki Alan pada dirinya sendiri. Dia menggeleng kuat-kuat, menampik apa yang ia rasakan hatinya saat ini.

Leon adalah laki-laki. Meskipun wajahnya imut dan tubuhnya mungil, tapi dia tetap laki-laki. Meskipun Alan baru saja patah hati karena Laurin, bukan berarti dia menjadi menyimpang dari norma agama bukan?

"Ingat, Alan! Ingat Tuhan!" Alan kembali menggeleng-geleng.

"Eh Alan?" sapa Leon saat menyadari ada seseorang yang berdiri di depan pintunya yang sedikit terbuka.

"Ha ... hai," timpal Alan kikuk.

"Ada perlu apa, Al?" Leon menatap heran.

Mata Alan mengerjap lalu berpaling. Tatapan Leon membuat jantungnya terasa berdetak aneh.

"Em ... anu ... gu ... gue cuma mau nanya beberapa hal tentang panjat tebing," jelas Alan bohong. Sebenarnya dia tidak memiliki alasan khusus datang ke kamar Leon.

"Ya Tuhan, kenapa gue bisa ngomong alasan bodoh seperti itu?" Alan merutuki dirinya sendiri.

"Untuk apa?"

"Em ... ya ... gue tertarik aja."

"Oooh ya udah. Masuk yuk!" Leon membuka pintu kamarnya lebih lebar.

"Eh Melviano Kalandra, bocah K-U. Harap maklum ya, kamar gue sama Leon berantakan gini." Bejo tiba-tiba merangkul pundak Leon. Lagi, dada Alan bertambah sesak. Dia marah lalu menarik tangan Leon agar berdiri di sebelahnya.

"Eh ngapain lo tarik-tarik tangan gue? Sakit tau!" keluh Leon.

"Oh sorry," kata Alan kikuk. Dia cepat-cepat melepaskan tangan Leon.

❤❤❤❤❤
Zaimatul Hurriyyah
Senin, 5 Agustus 2019

K-U season 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang