Sharfi mengeluarkan laptopnya dari dalam tas. Dia menyalakannya, menyambungkan koneksi internet di wifi sekolah, lalu memutar video lagu BTS yang berjudul Boy with luv ke semua teman-temannya. Laurin dan Leon melongok, mengintip sedikit, melihat tujuh cowok tampan berseragam merah jambu dengan rambut warna-warni. Sama seperti Sharfi, mereka juga fangirl BTS.
Pipi Elvan, Alan, dan Shem berkedut jijik. Mereka tidak bisa membayangkan jika harus menari di atas panggung dengan pakaian pink pula. Kepala mereka mendadak migrain.
Sharfi terkikik. "Nah gini aja. Rega jadi Jungkook, Alan jadi Taehyung, Atta jadi Jimin, Elvan jadi Jin-"
"Gue manusia. Bukan jin," protes Elvan.
"Iiih gue nggak ngatain elo, El. Ini lho." Sharfi menunjuk muka Kim Seokjin BTS yang terpampang jelas di laptopnya. "Ini tuh namanya Jin."
"Oooh."
"Heeem terus Arsen jadi Suga."
"Gue emang manis. Nggak perlu dipanggil sugar keles," kata Arsen.
"Apaan sih garing mulu bercandanya!" Sharfi memukul ringan punggung Arsen.
"Lanjut ih! Kalian buang-buang waktu gue tau nggak? Gue kan pengen pacaran," keluh Rega.
"Oke. Shem jadi RM, Vikram jadi J-hope. Pas kan?" lanjut Sharfi.
"Iya-iya. Pas banget." Laurin dan Leon mengangguk setuju.
"Tunggu-tunggu! Gue nggak mau joget kayak gini," tolak Elvan.
"Eits yang kalah harus nurut sama yang menang dong, El. Nggak boleh curang," keluh Sharfi.
Elvan menghela napas jengah. Rasanya percuma berdebat dengan Sharfi dan lainnya. Terpaksa, mau tidak mau, dia harus mengikuti kesepakatan.
"Terus, gue yang jadi Halsey. Mantul nggak tuh?" Sharfi terkikik senang. Tak sabar menari bersama tujuh cowok tampan idola sekolah.
"Kalau gitu, kerjanya mereka apa dong?" Rega menunjuk Grace lalu Thirza.
"Mereka bagian kostum sama make up," kata Sharfi seenak jidatnya.
Pipi Grace memerah malu, membayangkan jika dia akan mendandani Elvan di pentas seni akhir tahun. Kesempatan bagus untuk menyentuh wajah dan rambut Elvan dengan leluasa. Sungguh, Grace sudah tak sabar menantikan hari itu.
"Oke sudah fix. Gue pergi dulu ya guys. Maap mau pacaran. Yang jomblo silahkan ngenes. Karena ngenes itu gratis," kata Rega lalu merangkul pundak Laurin. Mereka berjalan keluar ruangan seolah tanpa dosa.
Sesampainya di taman, Laurin menggelar tikar, menata bekal lalu duduk lesehan bersama Rega di bawah pohon mahoni. Sambil memakan sosis goreng, mereka menikmati angin sore bersama sisa-sisa kehangatan.
Rega kemudian membuka buku lalu membacanya, membuat dahi Laurin berkernyit heran. Jarang sekali cowok itu belajar. Dia menempati ranking satu dengan hanya mengandalkan otaknya yang tercipta berbeda dari manusia normal. Maka dari itu, dia tak perlu repot belajar keras.
"Eh tumben kamu kok belajar," kata Laurin. Dia berbaring dan meletakkan kepalanya di pangkuan Rega.
"Ya nggak apa-apa dong, Sayang," timpal Rega yang masih fokus dengan buku bacaannya.
"Ya bagus sih. Tapi aneh aja."
"Ish kamu ini. Punya pacar rajin belajar malah heran."
"Ya heranlah, Paijo!"
"Silahkan heran ya, Painem. Karena heran itu gratis."
"Eh nanti malam kita makan bakso aja."
"Iya. Aku mau juga mau makan bakso. Bakso urat malu."
Laurin terkekeh. "Ih apaan sih? Bakso urat keles!"
***
Sore berganti malam. Bintang-bintang terhampar di langit pekat menggantikan jingga. Alan dan Leon berjalan menyusuri pasar malam dan menerobos keramaian manusia yang berjubel di depan salah satu kios yang menjual makanan dengan harga murah. Tanpa sadar, Alan meraih pergelangan tangan Leon dan menariknya keluar dari keramaian. Pipi mereka bersemu merah. Alan berdehem kikuk dan cepat-cepat melepaskan tangan Leon.
"Kok gue ngerasa seperti kencan sih?" Leon bertanya-tanya dalam hati.
Untuk beberapa saat, tidak ada percakapan di antara keduanya. Mereka hanya berdiri kikuk di tengah keramaian seperti orang bodoh.
"Eh ... em ... gimana kalau kita beli permen kapas?" Alan menunjuk seorang penjual permen kapas di ujung sana.
"Boleh." Leon mengangguk.
Mereka berjalan menuju penjual permen kapas dan memesan dua tusuk. Leon memesan warna merah jambu. Sementara Alan memesan hijau. Mata mereka berpendar mencari tempat duduk setelah membeli permen kapas. Alan tersenyum saat melihat sebuah tempat duduk kosong di dekat kolam. Lagi, tanpa sadar dia meraih pergelangan tangan Leon dan mengajaknya menuju ke tempat duduk tersebut.
"Ehem!" tegur Leon.
"Ups sorry." Alan cepat-cepat melepaskan tangan Leon.
Mereka duduk sembari menikmati pemandangan malam. Suara gemericik air mancur, kerlap-kerlip lampu pasar malam, berpadu sempurna dengan lagu cinta yang sengaja diputar keras-keras oleh pihak penyelenggara pasar malam.
"Eh kenapa lo ngajak gue ke sini? Bukannya lo nggak suka keramaian ya?" tanya Leon heran. Ia mencuil permen kapas miliknya lalu membuka mulutnya lebar-lebar.
"Gue emang nggak suka keramaian. Tapi gue suka sama lo."
Sialnya, kalimat terakhir yang dikatakan Alan tak terdengar oleh Leon. Karena kalimat itu kebetulan bebarengan dengan suara tangis seorang bocah yang merengek meminta dibelikan permen kapas.
"Tapi apa?" tanya Leon.
"Nggak apa-apa," jawab Alan kikuk seraya menghela napas kecewa.
Seorang wanita bertubuh tambun tiba-tiba datang dan menggeser tempat duduk Leon, hingga Leon berdempetan dengan Alan. Tak sengaja permen kapas mereka bertabrakan dan menyatu.
Mata Leon dan Alan saling bertatapan. Satu detik, dua detik, lalu tiga detik. Mereka pun tertawa bersama, melihat permen kapas mereka yang menyatu.
"Gue ingin kembali jadi Keysha, ya Tuhan. Gue ingin jatuh cinta dengan cara yang benar," keluh Keysha dalam hati.
"Damn! Kenapa dia imut?" Alan buru-buru mengalihkan pandangannya.
❤❤❤❤❤
Zaimatul Hurriyyah
Kamis, 8 Agustus 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
K-U season 2
Teen FictionMelviano Kalandra, cowok pendiam yang menyimpan sejuta luka karena terlahir dalam keluarga yang berantakan hingga membuatnya memilih tinggal di asrama sekolah. Lukanya bertambah perih ketika gadis yang disukainya jatuh hati pada Rega yang merupakan...