27. Putus

9.5K 1K 330
                                    

200++ komentar

❤❤❤❤❤

Laurin duduk di depan meja rias, menggerai rambut panjangnya, lalu merapikan poni. Dia tersenyum setelah mengoleskan lipstick tipis ke bibir mungilnya. Tak sabar rasanya ia bertemu Rega hari ini.

"Gue makin hari tambah cantik aja. Gue yakin si Rega makin cinta sama gue." Laurin berbicara sendiri lalu terkikik.

Laurin keluar dari kamarnya setelah memastikan pakaian yang ia kenakan sudah rapi. Hari ini ia ingin membuat Rega terkejut dengan kedatangannya di lokasi syuting.

"Mau ke mana lo? Kok rapi gitu?" tanya Elvan.

"Mau pacaran. Jomblo dilarang iri," timpal Laurin yang berjalan riang menuju pintu keluar.

Tak lama menunggu, Pak Sopir datang dan mengantarkan Laurin menuju lokasi syuting. Sepanjang perjalanan, Laurin tersenyum-senyum sendiri seraya bersenandung ringan, tak sabar rasanya membuat Rega terkejut dengan penampilannya hari ini.

Laurin : Mbak Dinda, jangan bilang-bilang ke Rega kalau gue mau ke lokasi syuting hari ini ya.

Ponsel Mbak Dinda berada di dalam tas. Seharian penuh Mbak Dinda sibuk ini dan itu sehingga tak sempat membaca pesan yang dikirim Laurin. Terlebih, ketika Mbak Dinda ingin membuka ponsel, tiba-tiba perutnya sakit. Dia pun mengurungkan niat membaca pesan-pesan yang masuk lalu cepat-cepat ke toilet.

"Action!" ujar Pak Sutradara.

Rega menatap lekat mata Amanda. Dia mulai menangkup kedua pipi Amanda dengan kedua tangannya. Hujan buatan tiba-tiba turun dan membasahi tubuh Rega dan Amanda. Rega kemudian menempelkan keningnya dengan kening Amanda.

"Aku cinta kamu selamanya. Biarkan hujan ini menjadi saksi cinta kita," kata Rega yang tengah beradu peran.

Rega kemudian mengamati bibir mungil Amanda, mengusapnya lembut, lalu mengecupnya lama. Amanda membalas kecupan itu.

Laurin mematung tak percaya dengan apa yang dia lihat. Kakinya mendadak lemas. Dia pun terjatuh. Hatinya begitu terluka, perih, juga sesak. Seketika pelupuk matanya menggenang beberapa bulir air, menetes, berseluncur di pipi mulusnya.

Mata Rega membulat kaget melihat kedatangan Laurin. Dia lekas berlari menghampiri Laurin. Tapi Laurin cepat-cepat beranjak pergi, membuat Rega mengejarnya.

"Yang, aku bisa jelasin, Yang." Rega meraih tangan Laurin dan menghentikannya.

"Jelasin apa, Ga?" Laurin menghempaskan tangan Rega, mendelik marah, lalu mengusap air matanya.

"Yang, kamu jangan marah dong. Tadi itu cuma syuting. Aku kan harus profesional bekerja."

"Aku nggak peduli kalau itu kamu lakukan atas dasar profesionalitas atau enggak. Yang jelas, kamu salah."

"Yang, kamu kan tau sendiri kalau aku ini seorang aktor. Aku harus profesional. Aku-"

"Kita putus!" potong Laurin, tak membiarkan Rega merampungkan kalimatnya.

"Kok putus? Aku nggak mau putus!"

"Bodo!" Laurin mendorong Rega kuat-kuat, membuat Rega melangkah mundur dua langkah.

"Sayang! Sayang!" panggil Rega.

Laurin berlari menuju tempat parkir, memasuki mobil, dan menyuruh sopirnya agar cepat-cepat menjalankan mobil.

"Sial! Kunci mobil gue ada di meja." Rega kembali ke lokasi syuting lalu mengambil kunci mobilnya, bergegas menuju tempat parkir untuk mengejar Laurin.

***

Laurin menangis di taman. Dia tak mau pulang karena tahu kalau Rega akan menunggunya di rumah. Laurin mengeluarkan ponselnya. Dia butuh seseorang yang bisa ia peluk ketika terluka.

"Halo, Van?" sapa Laurin diselingi suara sesenggukan.

"Laurin? Kok suara lo gitu? Lo kenapa? Lo nangis?" tanya Vania diseberang sana.

"Van, lo di mana sekarang? Gue butuh elo."

"Duh, gue sekarang ada di luar ko-"

Laurin melemas. Dia pun mematikan panggilan. Satu-satunya sahabat yang ia percaya sedang tidak ada di Jakarta. Laurin tidak bisa mengatakan masalah ini pada Elvan. Cowok itu pasti langsung menemui Rega dan menghajarnya habis-habisan. Sedikit banyak, Laurin tidak mau Rega terluka.

Laurin butuh seseorang yang mampu menemaninya di saat terluka seperti saat ini. Laurin bingung. Dia butuh sandaran hingga terbesit nama Alan dibenaknya. Alan selalu ada saat ia butuh seperti ketika ia mencari Chika di hutan.

"Halo, Alan?"

"...."

"Sekarang gue ada di taman. Gue butuh elo, Al. Gue-"

"Share loc," potong Alan.

Alan mengambil jaket lalu mengenakannya cepat, membuat dahi Leon berkernyit heran. Entah inisiatif dari mana, Leon tergerak untuk mengikuti Alan diam-diam.

Alan keluar dari kamar asramanya, berlari menuju tempat parkir, menaiki motor, mengenakan helm, lalu menyalakan mesin. Dia pun melaju, menerobos keramaian kota Jakarta yang terlampau padat.

Alan terhenti di ujung taman. Tangannya mengepal marah melihat gadis yang dia cintai tengah duduk sendiri dengan berlinang air mata.

Laurin mengangkat kepalanya, melihat Alan yang masih berdiri mematung di kejauhan. Dia pun berlari menuju Alan, spontan memeluknya erat-erat, menenggelamkan pipinya di dada cowok itu.

"Alan, gue harus gimana, Al?" tanya Laurin. Suaranya terdengar serak setelah cukup lama menangis.

Alan membalas pelukan gadis itu. Dia belum menyahut.

"Gue sudah mutusin Rega. Gue benci dia. Tapi gue masih cinta sama dia. Kenapa Rega jahat? Kenapa gue bego? Kenapa, Al? Kenapa?" tanya Laurin cepat.

Alan masih tak menyahut. Dia hanya mengeratkan pelukannya, berharap pelukan itu dapat menenangkan Laurin.

"Rega jahat. Tapi kenapa gue masih cinta coba? Apa namanya kalau nggak bego?"

Alan perlahan melepaskan pelukannya, menatap lekat mata Laurin, lalu mengusap lembut bulir-bulir air mata yang membasahi pipi Laurin.

"Kalau lo lelah, bilang aja ke gue."

Perkataan Alan sedikit ambigu. Cowok itu memang tidak bisa mengungkapkan perasaannya secara lugas dan jelas, membuat Laurin tak mengerti apa yang sebenarnya dia maksud.

"Thanks ya, Al." Laurin kembali memeluk Alan erat-erat.

Di kejauhan, Leon berdiri mematung dengan hati pilu. Dia memegang dadanya yang terasa sesak, sadar diri bahwa dia hanyalah perempuan yang tidak boleh jatuh cinta karena terjebak dalam wujud laki-laki.

❤❤❤❤❤
Zaimatul Hurriyyah
Sabtu, 20 Juli 2019

200++ komentar, besok minggu UPDATE!!

K-U season 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang