Alan mencari-cari lowongan pekerjaan di internet. Dia membutuhkan pekerjaan yang mudah dengan gaji tinggi dan bisa didapatkan dalam waktu dekat. Rasanya cukup mustahil mencari pekerjaan semacam itu, mengingat Alan tidak pernah memiliki pengalaman bekerja sebelumnya.
Alan menghela napas jengah. Matanya sudah terasa sakit setelah melihat layar ponsel berjam-jam demi mendapatkan sebuah pekerjaan bagus. Dia butuh uang banyak untuk mengurus keperluan pengajuan beasiswa ke luar negeri. Tidak mungkin ia menjatuhkan harga dirinya dengan meminta-minta pada kakeknya selayaknya pengemis yang menjilat ludah sendiri. Memalukan!
"Lagi apa, Al?" Leon melongok, mengintip deretan lowongan pekerjaan yang terpampang di layar ponsel Alan.
"Gue mau nyari kerja nih."
"Kerja? Ngapain lo butuh kerja? Kan elo anaknya orang kaya."
"Gue cuma mau hidup mandiri aja sih."
Leon meneliti penampilan Alan dari ujung kaki hingga ujung kepala. Kaki Alan panjang, tubuhnya berotot, kulitnya putih bersih, ditambah lagi cowok itu memiliki wajah yang mampu mewakili ketampanan Asia.
"Em ... gimana kalau lo jadi model aja?" saran Leon.
"Model?" Alan mulai tertarik.
"Kebetulan teman bokap angkat gue lagi nyari model cogan buat brand ternama. Gimana? Lo mau nggak?"
"Em ... oke." Alan mengangguk.
Pekerjaan sebagai model sungguh memenuhi semua kriteria yang Alan cari. Mudah, bergaji tinggi, tentunya bisa ia dapatkan dalam waktu dekat. Baru kali ini Alan bersyukur memiliki wajah tampan. Padahal sebelumnya dia selalu berharap memiliki wajah standar warga Indonesia karena menurutnya, menjadi tampan itu melelahkan.
***
Laurin menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya. Walau enggan, dia tetap memencet bel apartemen Rega. Lagi, dia mengalah dan memilih bertahan. Tak lama menunggu, Rega membukakan pintu untuknya.
"Ngapain kamu ke sini?" kalimat tanya itu terlontar dari mulut Rega. Singkat tapi terkesan sinis.
"Ga, kamu salah paham soal kemarin," jelas Laurin.
"Aku nggak butuh penjelasanmu."
"Kenapa kamu nggak percaya, Ga?"
"Semua wanita itu sama saja. Tukang selingkuh!" bentak Rega. Melihat fakta bahwa Laurin dekat dengan Leon, membuat Rega mengingat kelakuan bejat Mamanya.
"Aku tau kalau kamu saat ini sedang marah. Kamu cemburu. Aku ngerti kok." Laurin perlahan menyambar tangan Rega dan menggenggamnya.
Rega kalut. Dia marah tapi masih teramat sayang pada Laurin. Semarah apa pun, mustahil baginya mengatakan kata putus. Rasa cintanya jauh lebih besar bila dibanding kemarahannya. Mungkin inilah yang terjadi pada Papanya. Walau Tuan Arga tahu kalau Nyonya Priska selingkuh berulang kali, pria itu selalu menutup mata dan menulikan telinga. Berpura-pura tidak tahu agar hatinya tak terasa begitu perih.
"Kamu jangan ngambek lagi, Ga. Aku sama Leon nggak ada hubungan apa-apa. Kita cuma sekadar sahabatan," jelas Laurin.
Rega yang biasa cerewet masih terdiam, merasakan genggaman tangan Laurin yang mengalirkan semacam rasa hangat juga menenangkan.
"Ini sudah empat hari kamu nggak hubungin aku. Pokoknya kamu harus percaya sama aku, Ga. Aku janji akan jelasin semuanya asalkan kamu berhenti diamin aku," lanjut Laurin.
Empat hari tak bertegur sapa dengan Laurin memang menyiksa Rega. Suara Laurin, senyuman Laurin, harum khas Laurin, semua tentang Laurin adalah candu bagi Rega. Bayangan gadis itu selalu sukses memenuhi pikirannya. Lantas, siapa yang lebih tersiksa di sini?
KAMU SEDANG MEMBACA
K-U season 2
Teen FictionMelviano Kalandra, cowok pendiam yang menyimpan sejuta luka karena terlahir dalam keluarga yang berantakan hingga membuatnya memilih tinggal di asrama sekolah. Lukanya bertambah perih ketika gadis yang disukainya jatuh hati pada Rega yang merupakan...