Alan membuka pintu kamar, mendapati Leon yang sudah tertidur pulas di atas ranjang. Alan meregangkan otot lehernya yang cukup kelelahan setelah tadi siang menempuh perjalanan jauh dari Jakarta-Bogor. Dia merebahkan diri di samping Leon dan ikut terlelap.
Leon memiringkan tubuhnya seraya meracau. Tangannya beralih memeluk Alan, sedangkan kakinya menimpa paha Alan, tanpa sadar menjadikan cowok itu sebagai pengganti guling.
Perlahan Leon membuka kedua matanya. Samar-samar dia melihat Alan. Ketika pandangannya berubah jelas, dia menjerit kaget.
"Aaaargh!" teriak Leon. Dia beranjak mundur hingga terjatuh ke atas lantai. "Ouch!"
Alan mengorek telinganya yang terasa sakit karena teriakan Leon. Dia terbangun dengan mata setengah terpejam.
"Apaan sih teriak-teriak!" keluh Alan.
"Se ... sejak kapan lo tidur samping gue?" tanya Leon ketakutan. Dia menutupi dadanya dengan kedua tangan. Walaupun dia dalam penyamaran sebagai laki-laki, tetap saja dia adalah perempuan yang harus menjaga hartanya yang paling berharga.
Alan melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 09.15 WIB. Mungkin sekitar 10 menit yang lalu dia tertidur di samping Leon.
"Sekitar 10 menit yang lalu," timpal Alan malas.
"Lain kali jangan seenaknya tidur samping orang ya!"
"Emangnya kenapa? Kita kan emang sekamar." dahi Alan berkernyit. Dia mulai merasakan ada kejanggalan dari gelagat Leon selama ini.
"Ma ... maksud gue ... lo jangan sembarangan tidur di samping orang. Bilang-bilang dulu."
Alan memutar malas kedua bola matanya. Dia malas berdebat. "Ya udah. Sekarang lo udah tau kalau gue mau tidur di kasur ini. Puas?"
"Ka ... kalau gitu, gue tidur di sofa aja." Leon berdiri, mengambil selimut dan bantal, merebahkan tubuhnya di atas sofa, lalu mematikan lampu.
Alan mengedikkan bahu. Dia kembali tidur dan memilih tidak memusingkan gelagat Leon yang sudah jelas terasa sangat aneh.
Dua jam berlalu. Alan kembali terbangun. Terdengar bebunyian aneh berasal dari perutnya. Saat makan malam tadi, dia tak bernapsu makan setelah melihat Rega yang begitu perhatian pada Laurin. Perutnya kosong. Harus ada sepiring nasi dan lauk pauk yang cukup untuk mengganjal perutnya. Kalau tidak, dia akan terbangun sepanjang malam dengan perutnya yang keroncongan.
Alan keluar kamar menuju dapur. Langkah kakinya terhenti saat mendapati Laurin tengah sibuk berkutat di dapur.
"Lagi apa?" tanya Alan.
Laurin menoleh. "Eh Alan. Gue lagi masak nih. Gara-gara Grace tadi, gue jadi nggak sempat makan."
Laurin memotong beberapa sayuran lalu memasukkannya ke dalam panci. Kemudian ia menaburkan setengah sendok garam.
"Gue boleh ikut makan nggak?" Alan berjalan mendekat.
Laurin mengangguk. "Iya. Boleh. Lagian gue masak kebanyakan nih. Sayang kalau dibuang. Mubadzir."
Setelah 30 menit menunggu, Laurin menghidangkan semangkuk sup daging, sepiring ayam goreng, dan secobek sambal pedas di hadapan Alan.
"Sisa makanan yang tadi kan masih ada di lemari. Kenapa bikin yang baru?" tanya Alan heran.
Laurin bergidik, mengingat segumpal daging setengah matang yang disebut steak. Rasanya dia mau muntah. Lidahnya belum terbiasa merasakan masakan barat.
"Idiiih makanan apa tuh? Kurang matang. Nggak enak," timpalnya.
Alan tergelak. "Iya. Emang nggak enak. Yang enak itu ikan asin sama sambal terasi. Betul nggak?"
"Sayangnya di villa ini kagak ada ikan asin."
"Ya udah deh. Gue icipi ya." Alan mengambil sepotong ayam goreng lalu memakannya. Dia mengangguk. Rasanya sangat enak.
"Enak nggak?"
"Enak kok."
"Nih tambah lagi nih." Laurin meletakkan sepotong ayam goreng lagi di atas piring Alan. "Tambah juga nasinya biar sehat."
Alan terkekeh. Dia mengangguk patuh dan mengambil dua centong nasi.
"Ini nih supnya." Laurin mengambilkan Alan dua centong sup. "Cobain deh. Dijamin mantap!"
"Iya. Enak banget." Alan pun memakan masakan Laurin dengan begitu lahap. Sesekali mereka bercanda bersama, membahas gerakan-gerakan taekwondo, dan beberapa hal yang berkaitan dengan kebugaran tubuh.
Leon mematung kaku di dekat meja. Ada semacam perasaan sesak di dalam dadanya yang samar-samar terasa begitu perih. Dia memegangi dadanya, sekadar mencoba menguatkan untuk menampik kenyataan bahwa dia cemburu.
"Apa ini yang namanya cemburu? Kenapa sakit sekali, ya Tuhan?"
Leon menunduk lesu dan memilih kembali ke kamarnya. Dia berdiri di depan cermin, mengamati penampilannya dari ujung kaki hingga ujung kepala.
"Rambut gue pendek kayak cowok. Dada gue juga rata. Tubuh gue kurus kerempeng. Beda banget sama Laurin. Rambutnya cantik tergerai, dadanya besar, dan tubuhnya berisi. Heeem ... emang postur tubuh kayak gitu yang disukai para cowok. Apalagi Laurin mukanya cantik banget. Siapa yang nggak jatuh cinta?"
Leon merutuki nasibnya sendiri. Andaikan saja para pembunuh itu berhenti mencarinya, mungkin saja ia bisa hidup normal sebagai seorang perempuan.
"Gue ingin jadi perempuan. Gue bosan jadi laki-laki. Gue juga ingin bebas mencintai seseorang tanpa perlu takut ada rahasia yang terbongkar."
Mata Leon berkaca-kaca. Rasa sesak di dadanya masih terus datang menghardik. Sungguh sangat miris kehidupannya selama ini. Terjebak dalam penyamaran selama bertahun-tahun hanya untuk bertahan hidup dari kejaran para pembunuh.
❤❤❤❤❤
Zaimatul Hurriyyah
Rabu, 3 Juli 2019Komen 200++ besok update
KAMU SEDANG MEMBACA
K-U season 2
Teen FictionMelviano Kalandra, cowok pendiam yang menyimpan sejuta luka karena terlahir dalam keluarga yang berantakan hingga membuatnya memilih tinggal di asrama sekolah. Lukanya bertambah perih ketika gadis yang disukainya jatuh hati pada Rega yang merupakan...