Yang katanya cinta bisa bikin lupa diri, lupa waktu dan lupa dunia.
Jeno tak tahu sudah berapa lama dia mengabaikan hukuman dari guru sastra untuk menyiram tanaman.
Yang ia lakukan sejak tadi hanya duduk dipinggiran lapangan, tersenyum tampan sesekali tanpa melepas pandangannya dari sosok ditengah lapangan sana.
"Jeno? Sedang apa?"
"Oh, hai. Seperti biasa, aku ketiduran dikelas guru Kim"
"Haha, aku kira kamu memandangi Jaemin lagi"
"Jaemin?"
"Hn. Aku lihat kamu senyum-senyum sejak tadi saat memperhatikan Jaemin"
Alat penyiram tanaman yang sedari tadi Jeno pegang ia letakan disembarang tempat. Kerutan didahinya muncul dan menatap bingung pada Renjun yang baru saja menyeka keringat didahinya.
Memangnya kurang jelas ya gambaran dari prilaku Jeno?
"Kenapa aku harus memperhatikan Jaemin?" Jeno bertanya, menarik lembut pergelangan tangan Renjun dan meminta anak itu untuk duduk bersebelahan dengannya.
Renjun hampir menolak, tubuhnya terasa lengket pasca pelajaran olahraga tadi. Tapi Jeno yang tengah menatapnya serius itu membuat nyalinya ciut bahkan untuk sekedar mengundurkan diri.
"K-karena kamu suka Jaemin kan?" Jawab Renjun seadanya.
Tangannya lagi-lagi mengelap keringat dipelipisnya. Ia kegerahan bukan main, dan benar-benar merasa tak nyaman akan tubuhnya yang terasa lengket.
"Kata siapa?"
"Ng, itu....."
"Kenapa harus Jaemin kalau ada kamu?"
"e-eh?"
"Memangnya tak sadar kalau selama ini yang aku perhatikan itu kamu? Aku kan sukanya sama kamu Renjun"
Mata Renjun mengerjap polos, menatap Jeno bak anak bocah dan akhirnya malah menundukan kepala setelah berhasil mencerna kata-katanya.
Pipinya merona malu tak sadar, senyum manisnya muncul diam-diam dan tak akan pernah disadari oleh Jeno.
"Apasih Jeno, masa suka sama aku? Padahal kan Jaemin lebih manis"
"Jaemin memang manis, tapi dimataku kamu yang nomer satu"
Kalau boleh menjerit pasti sudah Renjun lakukan. Tapi ia masih sadar diri untuk tak melakukannya disini. Yang ada dirinya malah akan kena hukum dari guru Park yang masih ada ditengah lapangan itu.
"J-jeno serius suka aku?"
"Hn. Dua rius"
"Alasannya?"
"Memangnya harus ada alasan?"
"Iya. Aku penasaran, padahal tidak ada yang menarik dariku"
Jeno membuat pose berpikir untuk sejenak. Menggaruk kepalanya seolah kebingungan padahal sama sekali tak memikirkan apapun.
Ya memang begitu adanya, dia bahkan mencintai Huang Renjun hanya karena anak itu adalah Huang Renjun.
Jeno harus apa dong?
"Aku tak punya alasan apapun"
"Kok begitu?"
"Cukup karena kamu adalah kamu sudah mampu membuat jantungku berdebar Renjun"
"Kalau tidak berdebar? Tandanya tidak cinta?"
"Bukan"
"Apa?"
"Tandanya aku mati"
"Jangan mati!" Renjun mencicit, wajahnya terlihat khawatir dan Jeno gemas sekali dibuatnya.
Si tampan dari kelas 12 itu tersenyum, mencubit pipi Renjun tanpa membuat si manis itu merintih kesakitan. Hanya gemas kok, bukan berniat menyakiti sampai pipinya merah.
"Mau jadi pacar Jeno?"
"Tapi Jeno janji jangan mati!" Kata Renjun yang lagi-lagi menatap lekat kearah Jeno.
Mana bisa Jeno tidak gemas pada makhluk semanis Renjun. Mata berkaca-kacanya, bibir merah mudanya yang tengah mengerucut imut juga kedipan polosnya yang hampir membuat jantung Jeno meledak.
Menggemaskan.
"Aku tidak abadi Renjun. Jadi aku sewaktu-waktu bisa mati"
"..."
"Bagaimana? Mau jadi pacar Jeno?"
"Mau, tapi....."
"Mati itu hanya tuhan yang tahu. Jadi, kita jalani saja semuanya dulu. Jangan pikirkan mati karena aku bahkan belum sanggup memikirkan untuk kehilangan kamu Renjun"
Rasanya Renjun mau mencair saja saat mendengar kalimat Jeno. Jangan lupakan senyum tampannya, senyum yang biasanya selalu sukses membuat banyak gadis kejang-kejang karena begitu indah.
.
.
.With love,
Peen♥