29 : Dia Butuh Waktu

3.9K 508 32
                                    

Selepas peristiwa kemarin, anak – anak Pers Kampus mulai kembali ke daily-routine mereka. Meliput berita kampus, endorse, dan sebagainya. Meski berita – berita tentang aksi dan tuntutan masih sesekali mereka angkat.

Bahkan di tengah kekacauan itu pun seorang Kairav Naresha Kafin tidak bisa menyembunyikan kegundahannya. Pun begitu mahasiswa Fikom 2017, Sian Axelle Farzan yang selalu menatap Naresha curiga.

Ia ingin bertanya, apa benar Thara sudah meng-iyakan?

Apa benar, kalau kini Sian sudah tidak punya kesempatan?

Tapi yah, waktu selalu tidak tepat.

Kan tidak mungkin ketika ditengah demo Sian tiba – tiba bertanya soal itu. Tidak lucu juga jika nantinya mereka malah baku hantam karena merebutkan Thara didepan gedung DPRD.

"Kalau mau nanya, nanya aja. Nggak usah liatin gue segitunya," ujar Naresha yang tengah memakan es krim di sofa dekat rak buku. Menyendok Es Krim vanilla dari wadahnya itu dengan tenang. Menikmati siang harinya yang damai. Sedangkan Sian ada di kursi putar, kursi beroda itu Ia seret ke tengah ruangan. Berputar-putar sendiri sampai pusing. Ada–ada saja kelakuan Pemimpin Litbang itu.

"Kok lo tahu sih gue mau nanya?" tanya Sian heran.

"Yaa gimana gue nggak tahu, kalau lo udah seminggu ini ngeliatin gue mulu, kaya mau ngomong tapi nggak jadi–jadi. Kenapa? Lo mau nanya soal Thara?"

Naresha langsung tepat sasaran.

Sian menghela nafasnya. "Iya," jujur lelaki itu sendu.

Bukan hanya Sian, tapi kalian juga mungkin penasaran apa benar Thara – Nareshs sudah dalam suatu hubungan asmara.

Naresh tampak berpikir, menimang jawabannya. Ia pikir, harus jujur sekarang saja. Mumpung Sekre sepi, dan hanya ada dirinya dan Sian saja. Jangan sampai seperti kejadian waktu itu. Ia menyesal sudah asal bicara di tengah keadaan Sekre yang ramai, berakhir Thara seperti ingin memakannya hidup – hidup.

"Lo emang bener udah ditolak?"

Sian menatap Naresh, kenapa sohib nya itu malah balik bertanya.

"Yaa, dia bilang sih, dia biasa aja sama gue. Dia nggak bisa pacaran. Ditolak itu, kan?"

Yang tengah duduk di sofa meletakan wadah es krimnya, menatap Sian serius.

"Dia bilang, kalau saat ini pengen tenang dan fokus dengan hidupnya, gitu nggak?"

Sian mengangguk, Naresh menjentikkan jarinya.

"Lo nggak ditolak, An."

"Hah?"

"Gue juga nggak ditolak."

"Maksudnya?"

"Kita berdua disuruh nunggu."

"Tunggu, tunggu. Gue nggak ngerti. Apa maksudnya?"

Pemimpin Litbang itu beringsut mendudukan dirinya di samping Naresha.

"Yaa intinya dia masih cape sama hubungannya yang dulu, dia perlu istirahat. Dia masih biasa aja sama Kita. Itu artinya juga, bagi gue, tandanya dia nantangin gue buat bikin dia jatuh cinta. Sama gue."

Tubuh Sian melemas. Apa dia sebodoh itu? Kenapa tidak menyadarinya lebih awal?

Malah menyadarinya dari Naresha pula, yang notabene adalah saingannya.

Bagi Naresh, ketika Thara menolak untuk Ia jadikan kekasih, juga saat Thara berkata menyukainya sebatas senior yang dihormati, atau ketika Thara tersenyum lembut padanya namun terasa menyakitkan.

Pers Kampus ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang