40 : Jawaban

3.6K 477 77
                                    

Bayangkan, kalian tahu ada di jalan neraka. Tapi kalian tidak bisa berhenti dan terus berjalan. Jika berhenti, maka ancamannya kalian mungkin bisa gila, menjadi nekat menenggak sianida dalam jumlah besar, atau mungkin menjatuhkan diri dari lantai delapan gedung rektorat.

Suatu ketika, kalian pun menemukan sebuah pondok. Di dalamnya ada bunga kecil yang cantik. Membuat kalian lupa jika kalian tengah berjalan di jalan neraka. Harumnya, indahnya, warna yang dipancarkannya membuat kalian melupakan sisi kelam dalam hidup kalian.

Haluan kalian berubah. Bunga itu memikat kalian dengan cara aneh yang sulit dimengerti. Membuat kalian berbalik ingin menuju surga. Cantiknya bunga itu seperti racun, membuat candu, memabukan, ingin rasanya segera dipetik dan dimiliki seorang diri.

Merasa, jika bunga itulah jawaban di hidup kalian. Yang akan memancarkan sinar dan menghangatkan hidup yang dingin ini.

Jinan pun memutuskan malam itu, mengajak Jelita ke Parkir Atas. Membawa gadis itu dengan beberapa kotak rokok dalam sebuah kresek hitam dan sebuah pemantik.

Sang gadis menatap sekeliling, Parkir Atas ini memang jarang terpakai. Karena mahasiswa biasanya malas harus melewati jalan menanjak ke parkir di lantai atas.

"Aku pertama kali ke Parkir Atas kaya gini, biasanya kalau gak bareng anak angkatan 1 yaah ngumpul Litbang. Jarang bisa santai begini."

Ucapan Jelita dibalas senyuman oleh Jinan, lelaki itu sibuk mengeluarkan puluhan batang rokok dari dalam bungkusnya.

Tangan Jelita dengan sigap merebut satu batang rokok dari tangan Jinan, merebut pemantik apinya juga.

"Kamu mau ngap—"

Mahasiswa Fikom 2017 itu menganga ketika Jelita menyalakan rokok dan memasukannya ke dalam mulutnya. Setelah satu hisapan sembari memejamkan mata, Jelita terbatuk – batuk. Jinan segera memberikan sebotol air mineral yang juga dibawanya. Menjauhkan puntung rokok itu.

"Kamu ngapain sih?!" kesal Jinan.

"Kak Jinan yang ngapain?!" tanya Jelita balik tak kalah kesal. Wajahnya masih memerah karena pengap menghisap rokok.

"Udah aku bilang, tiap Kak Jinan ngabisin satu batang rokok, aku juga bakal lakuin hal yang sama."

"Ngelucu? Kamu megang rokoknya aja gak bisa? Udah kaya orang asma tuh!" lirik Jinan pada rokok yang terselip diantara Ibu jari dan telunjuk jemari gadis itu.

"Bisa aku kunyah rokoknya," sengit Jelita tak mau kalah.

Ini lah, kenapa Jinan tidak bisa berkutik. Gadis itu keras kepala, rasa ingin tahunya didukung oleh sifat tak mau kalah dan pantang menyerah. Membuat Jinan kehabisan akal jika sudah berdebat dengan gadis ini perihal dunia gelapnya.

Jinan menghela nafas, menghadapkan dirinya pada tubuh gadis yang jelas lebih pendek darinya.

"Dengerin aku, Jel."

Jelita membalas tatapan Jinan, rokok di tangannya dia buang lalu diinjaknya benci. Asap yang dikeluarkan rokok membuatnya sesak, Jelita tidak kuat.

"Aku di sini mau nunjukin sesuatu sama kamu."

Tangan lelaki itu dengan terampil membuka bungkusan rokok, lalu membuangnya—tunggu, Jelita menatap heran kelakuan Jinan yang meletakan rokok itu begitu saja di aspal parkiran. Seperti tengah mengumpulkan sampah.

Setelah keluar semua, bungkus rokok dimasukan ke dalam kantong kresek. Sementara tangan Jinan dengan terampil menyalakan pemantik api. Kemudian menatap Jelita yang duduk bersisian dengannya di kursi kayu lapuk panjang di sana.

Pers Kampus ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang