Day6 - I need somebody
Day6 - I smile
Meski dia berhasil unggul 1 voting dari Jinan sewaktu di mubes pemilihan Pemimpin Umum Pers Kampus, tetapi dia tidak pernah merasa benar–benar menang dan unggul.
Bukan. Bukan karena Jinan mengintervensi keputusannya. Bukan pula karena anak–anak lebih menuruti Jinan atau apa. Sebenarnya, kerja samanya dengan Jinan cukup baik, dan para pengurus menghormatinya sebagai seorang PU.
Hanif sendiri merasa, masalah ada pada dirinya sendiri. Rasa pesimistis, ketakukan, dan rendah diri yang ada pada dirinya adalah penyebabnya.
Sosok panutan seperti Siddiq menjadi motivasi sekaligus tekanan tersendiri bagi Hanif. Apalagi semua orang tahu bagaimana hebatnya Siddiq.
Dan kalian tahu, orang sehebat itu, memilih Jinan sebagai penerusnya. Secara terang–terangan dia memberikan kepercayaannya pada Jinan.Ini Hanif ketahui sewaktu mereka tengah melaksanakan mubes di luar kota. Di villa kosong milik Arya, daerah Sumedang.
Saat sore hari tiba, tepat 5 jam sebelum pemilihan berlangsung. Di sisi kolam ikan belakang Villa milik Arya, Hanif yang tadinya ingin menghisap sebatang rokok untuk menghangatkan diri, terhenti di teras.
Tubunya otomatis bersembunyi di balik tiang besar di sisi teras begitu menangkap siluet tubuh Siddiq dan Jinan yang bersisian.
"Abang dukung lo maju."
Di sisi sana, Jinan terlihat terkejut ketika tepukan di bahunya tiba–tiba terasa semakin berat. Ada penekanan, tatapan Siddiq juga bukan main seriusnya.
"Saat nanti ada yang nulis nama lo sebagai kandidat. Itu Abang, dan lo harus maju." Siddiq menatap Jinan penuh harapan. Sementara Jinan masih diam, menimang jawabannya.
"Tapi ada Hanif, Bang. Secara suksesi, angkatan atas lebih diutamakan. Kita masih punya Hanif, kenapa gue yang harus maju?"
Siddiq mengangguk. Mengerti maskud Jinan. Melangkahi senior tingkat atas dalam suskesi kepengurusan memang tidak biasa.
"Dia tanggung jawab, punya skill kepemimpinan yang bagus. Dia juga berkorban banyak buat Pers Kampus. "Siddiq masih diam, menatap gunung yang jauh di pelupuk matanya. Menimang jawaban apa yang harus ia lontarkan untuk meyakinkan Jinan maju.
"Masalahnya dia nggak fleksible. Dia idealis tapi masih gampang dipengaruhi orang. Keragu–raguannya, bisa jadi boomerang ketika Pers Kampus harus gerak cepat. Secara rasionalitas, Hanif masih dipenuhi perasaan pribadi."
Jinan mengangguk mengerti. "Tapi nggak ada salahnya menurut gue perasaan dilibatkan. Kita Jurnalis bukan berarti nggak punya hati 'kan? Rasionalitas nggak harus menutup emosi. Manusia butuh rasa empati," tolak Jinan.
"Anak – anak juga pasti nyalonin lo."
"Mereka tahu bokap gue siapa, makanya nyalonin. Ngerasa gue punya backingan kuat. Liat anak 18 yang nggak tahu? Gue yakin ke Hanif."
"Sok tahu lo," kekeh Siddiq.
"Nan, demi keseimbangan ekosistem Pers Kampus. Supaya tetep sehat, dan nggak alot. Lo harus maju. Gue tau, Hanif bisa. Gue percaya dia bisa. Tapi harus ada keseimbangan di sini. Dia terlalu condong ke satu sisi."
Jinan diam, berpikir ada benarnya kata Siddiq.
Angaktan 16 tersisa Hanif, Orion, dan Brian. Brian terlalu sibuk dan sering menghilang. Laki–laki itu lebih tepat untuk melindungi Pers Kampus dari garda depan sebagai sosok yang akan membranding Pers Kampus lebih maju, Brian juga telah menjadi Pemimpin Litbang periode sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pers Kampus ✔
Aktuelle Literatur╰Pers Kampus ╮ • College life • Lokal • Semi baku Kisah mereka mencari berita hingga cinta. Dari nggak kenal, jadi kolega, katanya teman, kemudian sahabat, hingga jadi keluarga cemara. Prinsipnya, nyari berita sampe mampus! Mereka itu, • Peka sama g...