19 : Then, I'll Be Your Daddy

4.5K 621 84
                                    

Hanif tumbuh sebagai seorang anak tunggal yang kekurangan kasih sayang orang tuanya karena mereka terlalu sibuk. Dia menginginkan adik, tapi tidak pernah terkabul. Hanif beberapa kali diajak ke Panti Asuhan oleh sang Ibunda, sehingga dia terbiasa dan menyukai anak–anak. Di mana pun Hanif berada, dia selalu jadi figur seorang Kakak. Sosok pemimpin dibanding yang lain karena kepribadiannya yang tenang, pembawaannya yang berwibawa, serta perawakannya yang tinggi besar.

Bagian dari dirinya yang menyukai anak–anak, hal–hal yang menggemaskan, dan bersikap seperti seorang kakak ini seperti mendapat tempat yang luas ketika melihat Verilya Ayesha Kyrallis Khawla masuk Pers Kampus.

Terkadang, Hanif memergoki anak itu bersikap manja. Sesekali merajuk hanya karena kehabisan stok coklat, jelly atau susu di tasnya yang direbut pengurus lain. Pipinya yang gembil membuatnya semakin terlihat lucu. Semua orang memperlakukan Ayesha sebagai adik kecil mereka.

Beberapa kali Hanif bahkan sengaja membeli donat atau sekotak susu untuk Ayesha, demi melihat Ayesha yang tersenyum lebar dan menatapnya dengan tatapan berbinar.

Setelah hari di mana Ayesha berteriak tidak suka padanya, Ayesha tidak ke sekre lagi. Ia beralasan pada Pemimpin Redaksinya Wishaka, katanya ada tugas kuliah dan kurang enak badan jadi tidak bisa liputan. Membuat Hanif semakin khawatir.

Makanya, sekarang laki-laki itu memutuskan untuk pergi mencari Ayesha. Menurut informasi Rara, Ayesha sekarang memiliki kelas mata kuliah terpisah yang selesai pukul 15;30 di ruang 207 Gedung A. Jadi Hanif menunggu di depan kelas.

Ayesha keluar dengan kacamata bulat, memakai jeans biru dan kemeja besar berwarna putih, dengan tas gendong kecil berwarna hitam. Begitu keluar kelas dan mendapat Hanif di sana, gadis itu menatap Hanif terkejut. Ingin kabur, namun Hanif langsung mendorong ke dua bahu gadis itu untuk pergi ke Parkiran. Tanpa sempat mendengarkan protesnya.

Hanif membawa Ayesha jauh. Gadis yang sedari tadi protes, lama-lama diam karena capek. Pemimpin Umum Pers Kampus itu membawanya ke sisi Kota Bandung, memilih untuk ke sebuah café bertema alam di atas gunung. Cafénya sepi sekali, Hanif memesan tempat di lantai dua dan kebetulan, sore itu tengah kosong.

"Pemandangannya bagus, kan?"

Ayesha tidak menjawab. Ia mendudukan dirinya di sebuah kursi yang telah Hanif pesan. Seluruh café terdiri dari ornament kayu, lantai kayu, dinding kayu, benar – benar mengambil segala hal dari alam sebagai nilai jual.

Tempat mereka tepat sekali di dekat pembatas. Ada di pojok ruangan dengan jendela besar dan lebar tanpa kaca, pandangan Kota Bandung dari area punclut ini membuat Ayesha kagum. Namun dia masih jaim di depan Hanif. Jadi gadis itu menahan kekagumannya.

"Mau pesen apa?" tanya Hanif lagi.

"Terserah," ketus Ayesha tanpa melihat ke arah Hanif.

"Masih nggak mau liat Kakak?"

Semenjak bertemu di depan kelas tadi, Ayesha selalu saja membuang muka. Tak ingin menatap Hanif.

"Kakak ada salah ya?"

Hening.

"Kakak minta maaf, tapi kasih tahu dulu dong Kakak salahnya apa? Jangan diem terus."

Hening lagi.

"Ayesha?"

Tidak dijawab.

"Aye?"

Masih diam.

"Ay?"

Pertahanan Ayesha mulai runtuh, suara Hanif lama-lama semakin lembut saja.

"Jangan manyun terus dong, cium nih."

Pers Kampus ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang