Apa kalian sudah pernah merasakan titik terendah hidup kalian?
Menurut kalian kapan itu?
Saat orang yang kalian sayangi tiada?
Saat usaha kalian gagal?
Saat dikecewakan seseorang?
Bagi seorang Kanaya Puteri Nirmala sendiri, titik terendah hidupnya adalah ketika ayahnya meninggal karena kecelakaan, kemudian keluarga ayahnya tiba–tiba menuntut harta milik sang ayah. Ibunya jatuh sakit, dan Kanaya depresi karenanya.
Di titik itu, jangankan menjalani sebuah hubungan dengan seseorang. Hidup saja sudah salah baginya. Yang Ia inginkan hanyalah menghilang seperti buih di lautan. Tak tau harus berlari dan meminta bantuan pada siapa. Tak ada tempat bersandar.
Ia anak tunggal, Ibunya pun begitu. Kakek – neneknya dari pihak ayah atau Ibu telah tiada. Sanak saudara dari pihak Ayah malah mempersulit hidupnya dengan memperkarakan harta milik Ayahnya. Teman? Ia bahkan merasa tidak dalam posisi bisa meminta bantuan teman – temannya.
Saat itu, Kanaya kalut. Ia frustasi dan rasanya ingin melompat dari gedung berlantai 100 saja. Ingin menabrakan dirinya di depan truk yang melaju. Ingin menelan sianida kemudian lelap tertidur selamanya.
Dunianya serasa gelap. Ia buta sesaat. Saking kalut dan gelap dunianya, Ia lupa akan kehadiran seseorang yang dengan senang hati menjadi sandarannya. Seseorang yang selalu memeluknya ketika menangis. Seseorang yang belum bisa makan dan tidur dengan tenang sebelum Ia makan dan tidur lebih dulu.
Tidak. Sekalipun saat itu Kanaya menyadarinya, Ia tetap tak ingin melibatkan Wishaka. Ah, kalau boleh jujur, hati kecil Kanaya menyadari hal itu. Setelah semua pengorbanan Wishaka, tentu Kanaya menyadarinya.
Tapi ... lekaki itu sudah cukup terluka dan menderita karena bersamanya. Harus menghadapinya yang lepas kendali, marah tidak jelas, harus berlari bolak – balik rumah sakit dan pengadilan. Merepotkan Wishaka berkali–kali. Menjadi beban si penyuka warna putih itu. Kanaya tidak mau.
Maka ia putuskan, Ia harus melepasnya. Tapi ternyata tidak semudah itu, senyum laki – laki itu masih setia menyapanya setiap hari. Kedua tangan itu masih memeluknya setiap Ia menangis. Kaki itu masih berlari kepadanya setiap kali Ia terjatuh. Semua masih sama, kecuali status mereka.
Di saat semuanya mulai membaik, angin sudah tidak terlalu ribut. Kanaya sadar, Ia seharusnya berhenti bergantung pada Wishaka. Jadi Ia mencoba menjauh, menjalin cerita lain dengan laki – laki yang tempo hari menyapanya.
Berharap ia bisa melupakan Wishaka.
Berharap Wishaka akan segera melupakannya.
Berharap laki – laki itu temukan kebahagiaannya.
Berharap ia tak akan jadi beban lagi untuknya.
Harapan tinggal harapan.
Kanaya tidak bisa membohongi perasaannya.
Ternyata Wishaka pun sama.
Ini kah takdir yang sering dibicarakan orang itu?
Mendengar penuturan laki – laki berambut coklat gelap itu, Kanaya tersadar, bahwa Ia tidak bisa menuntaskan cerita ini sendiri. Tak bisa hanya memikirkan perasaannya saja. Jadi, seperti Wishaka yang jujur dan berani mengambil resiko. Kanaya putuskan juga demikian. Toh, mereka saling menyayangi. Perasaan mereka itu nyata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pers Kampus ✔
Ficção Geral╰Pers Kampus ╮ • College life • Lokal • Semi baku Kisah mereka mencari berita hingga cinta. Dari nggak kenal, jadi kolega, katanya teman, kemudian sahabat, hingga jadi keluarga cemara. Prinsipnya, nyari berita sampe mampus! Mereka itu, • Peka sama g...