Gadis itu terus berjalan ke depan, tak peduli jika sedari tadi ada pria bertubuh besar dan jangkung memanggil namanya berulang kali.
"Ay."
"Sayang."
"Cutie, baby."
"Aye, dengerin Kakak dulu."
"Ayesha!"
Sentak si lelaki menahan tangan gadis yang dari nafasnya saja terlihat tengah menahan amarahnya.
Ayesha, gadis yang dipanggil menatap lawan bicaranya tajam. Matanya memerah, ingin menangis namun dia tahan. Hatinya kini terasa sangat sesak sekali. Ia tidak ingin melihat lelaki dihadapannya ini. Rasanya menyakitkan sekarang. Ia tidak sanggup.
"Dengerin Kakak dulu, kamu jangan pergi gitu aja dong?"
Gadis itu diam, tak berniat menjawab. Ia membuang muka, tak sudi menatap lelaki dihadapannya ini.
"Hanna--"
"Hanna, Hanna, Teh Hanna terus, aku gimana?!"sentak Ayesha menatap si lelaki lantang.
"Kak Hanif sadar enggak sih? Udah berapa kali Kak Hanif kaya gini? Sekali aku maklum, dua - tiga laki aku ngerti, ke empat dan lima kali aku coba paham, seberapa berartinya Teh Hana buat Kakak ..." Ayesha memenjamkan matanya sejenak.
"Aye tahu, selamanya Aye gak akan pernah ngalahin Teh Hanna buat Kak Hanif. Kita baru kenal 11 bulan, baru ngejalanin hubungan ini sebentar. Enggak sebanding dengan seluruh waktu yang Kak Hanif habisin bareng Teh Hanna."
Suara Ayesha sudah serak.
"Teh Hanna akan selalu jadi prioritas Kakak, dan aku akan tetap ada di bawah bayang - bayang Teh Hanna. Bagi Kak Hanif, Teh Hanna selalu lebih pentin 'kan? "
"Aku ngerti, aku selalu coba buat ngerti."
Suara yang biasanya terdengar riang ditelinga Hanif kini mulai melemah.
"Tapi kapan Kak Hanif juga mau ngerti perasaan aku?"
Mata Ayesha sudah berkaca - kaca.
"Sebenernya, aku ini apa buat Kakak? Suka sama aku? Sayang? Pengen terus bareng dan liat aku? Yakin bukan sama Teh Hanna?"
"Sayang, aku sama Hanna itu keluarga. Maaf kalau Aku tadi tiba - tiba bilang mau pergi, aku panik, Hanna gak berani tidur kalau mati lampu. Kalau kamu enggak mau aku pergi, aku bakal telfon Wendy buat temenin Hanna. Aku gak jadi pulang," jelas Hanif panjang lebar.
Tangan kecil gadis itu melepas paksa tangan Hanif dari lengannya. Setelah melepas lengan Hanif, Ayesha menatap Hanif kembali, mencoba lebih tenang.
Gadis itu memaksakan senyum terukir di wajahnya.
"Enggak apa - apa, Kak Hanif pergi aja. Kasian Teh Hanna sendiri di rumah. Aku bisa pulang sendiri, gak perlu nyusahin Dana buat jemput aku."
Ayesha sudah berbalik hendak pergi, tapi kemudian berhenti dan menatap Hanif lagi.
"Oiya, Kita gak perlu ada kata putus kan? Jadi Aye rasa gak perlu ngomong apapun."
Mata Ayesha terpejam. Menahan isakan yang bisa kapan saja lolos dari bibirnya.
"Makasih udah baik sama Ayesha."
Senyum terakhir diberikan gadis itu pada Hanif.
Sebelum akhirnya benar - benar pergi dari hadapan Pemimpin Pers Kampus yang mengerang frustasi.
Sementara itu Ayesha terus berjalan cepat, menghindari tatapan dan kejaran Hanif di belakangnya. Ia memutuskan bersembunyi di balik sebuah pohon besar di Alun - Alun kota Bandung, bersembunyi di antara keramaian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pers Kampus ✔
Aktuelle Literatur╰Pers Kampus ╮ • College life • Lokal • Semi baku Kisah mereka mencari berita hingga cinta. Dari nggak kenal, jadi kolega, katanya teman, kemudian sahabat, hingga jadi keluarga cemara. Prinsipnya, nyari berita sampe mampus! Mereka itu, • Peka sama g...