'¤| Bab 39☆

44 15 2
                                    

Di sepanjang koridor kelas XI MAIPS, ada seorang gadis yang berjalan dengan pandangan kosong walaupun tetap tentu arah. Gadis itu berjalan menuju ruang OSIS untuk membahas perihal calon OSIS kelas X yang akan naik kelas XI nanti.

Jadi Raya setelah melaksanakan tugas terakhirnya ini, ia akan menyandang gelar senior. Bukan lagi mengemban tugas sebagai junior. Untuk tugasnya sebagai senior, ia hanya menuntun dan melihat kegiatan dari segi kelancaran, ketika juniornya akan melaksanakan atau membuat acara di sekolah. Apakah mereka bisa memegang tanggung jawab dengan baik atau tidak.

"Kenapa enggak bisa fokus, sih?" Raya berdecak karena fokusnya tak terkendali sebab ucapan Naila beberapa menit lalu.

Berhubung ada kumpul OSIS, Raya pasti akan bertemu dengan Naila dan Endang kembali.

Ia tak tahu apa yang membuat Naila bisa berubah seperti itu, ia hanya berpikir mungkin Naila sedang sensian saja di bulan ini.

Raya membuka pintu ruangan OSIS dengan pelan lalu mengucapkan salam, di dalam sudah banyak sekali anggota OSIS berkumpul dengan duduk rapi di tempat masing-masing.

Sembari mendudukkan dirinya di hadapan para anggota, karena memang letak kursi ketua, wakil ketua, sekretaris, dan bendahara berada di depan sebagai pasukan inti untuk menyampaikan aspirasi dan kesalahan anggota-anggotanya dengan jelas.

"Ra!" panggil Naila.

Raya mengangkat pandangannya sembari mengangkat sebelah alisnya.

Naila tersenyum miring secara tipis sekali, "Omongan gua yang tadi enggak usah dipikirin. Cuma bercanda."

Raya mengangguk pelan, toh sebenarnya ia tak peduli apa yang diomongkan Naila tadi.

Ia hanya kepikiran saja alasan Naila berucap seperti itu kepadanya.

"Oke, Assalamualaikum warahmatullahi wabaraktuh!" Suara Irgi mengintrupsi membuat Raya bersiap menulis poin-poin penting saat rapat.

Lima belas menit Irgi menyampaikan tata cara pelatihan calon OSIS, masuklah sesi pengeluaran pendapat.

Raya mengangkat tangan untuk pertama kali, seperti biasanya.

"Apa, Ra?" tanya Irgi sembari melirik Adit — wakil ketua OSIS — yang berada di sebelahnya diikuti Lila — bendahara OSIS — yang melirik Adit juga. Tak asal mereka melirik, karena memang jika Raya sudah mengangkat tangan tandanya dia akan bertanya hal yang memang sangat penting tetapi membuat otak Irgi, Adit, dan Lila, bahkan anggota OSIS lainnya tak bisa berjalan normal. Sebab pertanyaan Raya menguras tenaga dalam berpikir.

Raya berdehem sebentar lalu sambil menatap buku catatan OSIS-nya, Raya mengeluarkan suara.

"Kalau misalkan tahun ini kita pakai cara seperti tahun lalu, enggak ada kemungkinan tahun ini bakalan banyak anak yang ikut organisasi OSIS. Apalagi saat tahu anggota OSIS, bahkan ketua OSIS tahun kemarin, yang saya maksud adalah angkatan kita sendiri ... masuk geng yang sama dengan geng anak-anak badung," ucap Raya.

"Yang ada nanti jika sebagian anggota OSIS adalah sekawanan anak badung, mereka bakalan semena-mena dan tidak bertanggung jawab dalam memegang tugas nantinya. Apalagi sampai memprovokasi yang lain."

Irgi terdiam.

"Menurut saya, pilih sepuluh orang setiap kelas di setiap jurusannya. Habis itu untuk setiap hari Senin, Jumat, dan Sabtu diwajibkan kumpul di lapangan utama. Enggak ada tuntutan, kecuali harus hapal isi Pancasila, UUD 1945, janji pelajar MAN Jaya, Asmaul-Husna, dan tahu beberapa materi pelajaran pokok di jurusan MAIPA maupun MAIPS serta materi ekskul yang anak itu ikuti."

Naila bersiap mengangkat tangan, tetapi Raya sudah lebih dulu mengangkat tangannya. "Enggak ada yang bertanya sebelum saya menjelaskan sampai selesai."

AnggaRaya [ON GOING - SLOW UPDATE - REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang