'¤| Bab 54☆

12 4 0
                                    

Raya menaruh tasnya di atas kursi sambil menghela napas lelah.

"Kenapa lo, Ra?" tanya Herlin saat melihat Raya yang begitu tak bersemangat sejak awal bangun tidur.

"Enggak apa-apa," jawab Raya singkat sembari bertopang dagu, ia masih memikirkan siapa yang memberikannya sebuah kotak mainan itu.

"Ssh, Lin," Raya menolehkan pandangannya ke arah Herlin. "Siapa ya yang kirim kotak receh semalam?"

Herlin mengangkat bahunya acuh. "Kurang tahu saya."

Raya terdiam lalu menghela napas sejenak, perasaannya akhir-akhir ini terasa sangat gelisah dan hidupnya sekarang penuh dengan teka-teki. Boro-boro buat menjalaninya, memikirkannya saja sudah membuat kepala Raya pusing.

"Woi, Ra!" teriak Naila memanggil Raya yang baru saja memasuki kelasnya bersamaan dengan Endang.

Raya mengalihkan pandangannya. "Apaan Nai?"

"Sini deh!"

"Apa?" tanya Raya setelah menghampiri Naila.

Naila tersenyum lalu mengangkat kedua jarinya. "Semalem gue yang kirim kotak ke rumah lo. Lo ada dapat kotak, kan?"

Raya mengangguk. "Ternyata lo yang gabut. Enggak ada akhlak amat!" cibir Raya membuat Naila melotot.

"Ngaca!" balas Naila mendesis.

"Cih, enggak jelas!" Lalu Raya meninggalkan Naila dan Endang diikuti Endang yang menghela napas lelah akan kelakuan Naila.

"Kenapa?" tanya Naila.

Endang menggeleng. "Enggak ada basa-basinya banget ya lo," ujar Endang yang dibalas acuh oleh Naila.

Disisi lain, Angga tersungkur sambil memegang keningnya yang terasa pening sehabis dipukul oleh kepalan tangan seseorang.

Tadi Angga berniat berangkat sekolah, seperti biasa ia akan berangkat sendiri lalu bertemu dengan anggota inti Unifoce lainnya secara bersamaan saat memasuki gang MAN Jaya. Tapi, ia sekarang malah harus menghadapi beberapa preman yang tiba-tiba mengeroyoknya dipinggir jalan rumah warga yang sedikit sepi dan itu pun jaraknya masih sangat jauh dari sekolah.

Bisa dibilang, preman-preman itu bukan sekadar preman. Karena jika mereka preman yang tampilannya macam preman yang malak uang penjual di pasar, maka tak mungkin mereka memakai mobil serta pakaian mereka yang sama semua, yaitu serba hitam.

"Mau lo semua apa?" tanya Angga sambil bangkit.

Salah seorang dari preman tersebut terkekeh mendengarnya. "Mau celakain lo sampai mati!" Lalu diikuti suara tawa preman yang lain. Terhitung ada sepuluh preman dengan Angga, menjadi sebelas.

"Coba aja kalau bisa!" Tanpa aba-aba Angga memberikan bogeman mentah di pipi kanan preman yang tadi membalas pertanyaannya.

Bugh! Lalu Angga segera menendang perut preman itu hingga terdengar suara rintihannya diikuti kepalan tangan yang terlempar tepat berada di samping telinga kirinya. Angga bersyukur, untung ia segera mengelak.

Angga dengan cepat menarik kepalan tangan itu hingga tubuh preman itu terhempas ke depan dan jatuh ke tanah.

Angga mengangkat pandangannya dan mendapat bogeman mentah dari pipi kirinya membuatnya tersungkur.

Laki-laki dengan seragam batik hijau dan biru itu menggerakan rahangnya, ia merasa otot tulang rahangnya tegang. Dengan segera ia bangkit lalu memberikan bogeman mentah kepada preman yang tadi menampol pipi kirinya di bagian perut preman itu.

"Gimana? Mantep, enggak?" tanya Angga sembari menaik-turunkan kedua alisnya bermaksud mengejek.

Tersisa tujuh orang lagi, Angga menghela napas. Apakah ia masih ada waktu untuk pergi ke sekolah?

AnggaRaya [ON GOING - SLOW UPDATE - REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang