20

1.3K 288 4
                                    

Dia menyusuri jalan dengan pohon maple disekelilingnya. Kedua tangannya dia letakkan di dalam saku mantelnya.

Senyuman terukir kala dia mengingat suatu hal dari masalalu. Hal yang membuatnya senang, dan hal yang sedikit menyakitkan untuk dikenang.

Rambut panjangnya menjuntai indah dibiarkan terurai. Rambut yang dulu seringkali dibelai sosok yang dicintainya hingga sekarang.

Sosok yang tak akan pernah didapatnya.

Sosok yang tak akan pernah diraihnya.

Pekikan kaget terdengar darinya karena sebuah lemparan bola salju yang mengenai mantel abu abu itu.

Dia menoleh, kearah sumber bola salju yang mengenainya.

Disana berdiri 3 orang anak kecil dengan raut muka terkejut. Mata mereka membulat dan mulutnya terbuka.

Perempuan pemilik rambut panjang itu bersedekap sambil menatap seakan marah pada anak anak itu.

"Katakan, siapa yang melakukan ini?"

Ketiga anak itu bungkam, tak berani menjawab. Mereka pun menunduk takut.

Seorang anak perempuan dengan rambut hitam mengangkat tangannya.

"Maafkan aku, Aunty Irene"

setelah mengatakan itu, mereka semua pergi.

Irene hanya bisa menghela napasnya dan melanjutkan perjalanan menuju rumahnya.

Berjalan disiang hari dimusim dingin memanglah yang terbaik.

Daun dari pohon maple yang biasanya berguguran kini tertutup oleh salju. Dia biasanya dia akan melihat boneka salju yang diam didepan rumah seolah menyapanya.

Satu belokan lagi dan dia akan sampai dirumahnya.

Rumahnya tak terlalu besar. Rumah lantai dengan pekarangan luas yang dihiasi banyak bunga bunga yang indah saat musim semi dan musim panas.

Saat orang yang bekerja di dunia hiburan memilih memiliki hunian mewah yang terletak di pusat kota, maka tidak dengannya.

Menurutnya, hal itu sedikit berlebihan untuknya. Apa gunanya dia memiliki rumah besar seperti milik adiknya namun hanya 2 orang yang tinggal disana?

Apalagi dia lebih sering menghabiskan waktu di butik daripada dirumah. Anaknya pun lebih banyak disekolah.

Rumah ini lebih dari cukup untuk mereka. Besar, namun tidak sebesar milik Seungyoun. Dan tidak terlalu kecil juga.

Terdapat sebuah mobil dipekarangannya. Dia tak bisa tau siapa yang bertamu. Dia sedikit tidak suka saat ada orang yang bertamu dirumahnya, dia lebih memilih mengarahkan orang orang ke butiknya daripada kerumahnya.

Dibukanya pintu kayu itu.

Aroma croisant menguar dari dalam.

Apa putrinya sedang belajar memasak?

Sepertinya benar, terdengar suara gaduh dari arah dapur.

"Junho minggir"

Dia bisa melihat, keponakannya sedang ditarik paksa oleh seorang gadis dengan rambut pirang yang terkuncir rapi.

Dan anaknya yang sedang membawa nampan berisi roti yang baru keluar dari panggangan.

"Lia, dimana letak kamar mandi mu?"

Sebuah suara lain muncul dari belakang tubuhnya.

"Ah aunty Irene, Selamat Sore aunty"

Pemuda yang masih mengenakan kemeja putih dengan dasi hitam bercorak 3 garis putih menunduk padanya.

"Soobin tega sekali kau meninggalkanku"

Datang lagi pemuda lain yang masih berpakaian sama.

Irene tau anak ini bermana Yeonjun, Choi Yeonjun. Ibunya seorang model profesional dan sudah bergelut 25 tahun dibidangnya. Mereka beberapa kali bertemu diacara peragaan busana dan ibu Yeonjun juga sering menjadi model untuk pakaiannya.

Ini hari jumat, hari terakhir mereka bersekolah sebelum weekend. Tentu saja rumahnya ini akan ramai.

Baru 5 anak ternyata, mungkin 30 menit lagi akan datang 3 remaja tanggung yang mengisi penuh rumahnya.

"Akh-

"JUNHO SUDAH KUBILANG UNTUK MINGGIR!! KAU SIH TIDAK PERCAYA, JUNHO BODOOOOH"

Irene menoleh kearah dapur

Lia yang sedikit terkejut karena tidak sengaja menyenggol Junho dengan nampan panasnya, Junho yang sedang kesakitan dan Yuna, gadis pirang itu sedang menggeret Junho ke wastafel.

"Aunty, maafkan kami ya"

Pusing, Irene pusing.

Dunianya berubah 180 Derajat setelah mengadopsi Lia sebagai anaknya, 10 tahun yang lalu. Saat dia memutuskan harus memiliki anak namun tak harus menikah. Saat dia memutuskan untuk tak menerima pria lain di hatinya.

Lia yang saat itu berusia 8 tahun menyita penuh perhatiannya. Membuatnya melupakan lelaki otoriter bernama Han Seungwoo.



**************



Anak 13 tahun itu langsung keluar mobil dan berlari kencang masuk kerumah saat kendaraan itu berhenti.

Sang ayah hanya menggelengkan kepalanya. Ternyata putranya itu masih marah karena bentakannya kemarin. sebenarnya dia tak bermaksud membentak Dohyon, namun entah mengapa itu terjadi.

Dia hanya tak mau putra sulungnya itu tak sopan pada sang kakak.

Tapi mungkin caranya yang salah.

"Biarkan saja dia kak, mungkin memang ingin marah"

Seungyoun hanya mengangguk lalu merangkul Yeji untuk memasuki rumah besar itu.

Mereka disambut oleh Damy, kucing betina dengan bulu putih bersih dan bermata hijau.

Kucing itu langsung melompat kepelukan Yeji seolah ingin bermanja.

Sampai diruang TV, mereka melihat Dohyon yang sedang telentang di karpet dengan Lizy kucing berwarna orange dengan bercak putih dan Enzy kucing putih dengan bercak hitam yang turut telentang diatas tubuh Dohyon.

Yeji bisa melihat Ouri yang duduk diam disebelah Dohyon sambil sesekali menenggelamkan wajahnya diperut putranya itu.

"Junho belum pulang, Ji?"

"Dia bilang akan main sebentar kerumah Kak Irene"

"Dia sudah cukup akrab dengan Lia? Syukurlah"

Yeji mengangguk.

Kucing dengan bulu hitam legam datang dan meloncat kearah Seungyoun. Mata Orange nya  menatap tajam kearah kucing putih bersih yang ada digendongan Yeji, membuat Damy mengeong tak nyaman.

"Aku kekamar dulu kak, Damy takut pada Viy"

Seungyoun mengangguk lalu pergi kedapur. Kopi panas mungkin dapat meredakan kepenatannya.


______________
____________________________

Melepas Rembulan [Cho Seungyoun & Hwang Yeji] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang