Selesai sudah agenda liburan mereka. Akhirnya Zia dan Gio bisa kembali menghirup udara tanah air. Merasakan atmosfer kota Jakarta yang benar-benar padat, polusi yang sudah menjadi ciri khas, apalagi macetnya. Tetapi bagaimana pun juga, tanah kelahiran adalah tempat pertama untuk berpulang.
Pasangan itu pulang dengan di antar sopir pribadi keluarga Gio—yang tadi lelaki itu hubungi. Persis seperti saat mereka sampai di Swiss, Zia tertidur di dalam mobil. Terlihat pulas sekali dengan bersandar di pundak Gio. Selama kurang lebih empat belas hari tinggal di negara orang, tentu saja membuat Zia lelah.
Matanya berkedut, sepertinya gadis itu terusik. Membuka perlahan kelopak matanya, lalu membenarkan letak kepalanya diatas pundak Gio. Tentu saja Gio menoleh, tersenyum tipis saat mendapati raut sayu Zia. Matanya berkedip pelan, mungkin sedang berusaha mengembalikan kesadarannya.
"Tidur lagi aja, nggak pa-pa." kata Gio.
Zia mendongak lalu menggeleng. "Kita mau ke mana, Yo?" gadis itu sadar jika ini bukan arah jalan ke apartemen mereka. "Mau ke rumah siapa?" apalagi saat mobil yang mereka tumpangi berbelok ke sebuah perumahan.
Yang ditanya tidak menjawab. Sampai akhirnya mereka berhenti di depan sebuah rumah. Tubuh Zia terduduk dengan benar, mengamati rumah di hadapannya dari dalam mobil. Tidak kalah bagus dengan rumah papi Bram dan ayah Ronald. Tapi, pertanyaannya rumah siapa ini?
"Rumah siapa sih, Yo?" lagi-lagi Zia tidak mendapatkan jawaban. Gio malah turun duluan lalu beralih membukakan pintu mobil untuknya. "Ish, Gio jawab deh!" kesalnya. Tapi Gio malah terkekeh yang malah tambah membuat Zia kesal.
"Keluar dulu, nanti tau sendiri ini rumah siapa." Zia mendengus tapi, tak urung mengikuti kata Gio.
Mereka berdua sama-sama berderap menuju pintu utama. Ekspresi Zia masih kecut, yang malah membuat Gio gemas sendiri. Mengacak pelan surainya di susul dengan kecupan di pipinya.
"Udah ih ngambeknya. Jelek."
Langkah Zia berhenti, memandang Gio horor lalu berteriak, "Ngeselin!"
Yang dilakukan Gio selanjutnya adalah terbahak kencang. Jauh dari sikapnya yang selama ini terkenal dingin. Ini kali pertama Zia melihat Gio tertawa selepas ini, benar-benar terlihat enteng sekali. Karena tidak tahan terus berdekatan dengan Gio, akhirnya Zia mengambil langkah untuk mendahuluinya. Bisa benar-benar terbakar wajahnya jika lama-lama seperti itu. Gio ternyata juga berbahaya.
"Ayo masuk!" Gio tiba-tiba sudah berada di sampingnya. Meraih tangannya hendak menggeretnya masuk ke dalam sebelum Zia menahannya.
"Ketuk dulu, lah! Rumah siapa lagi, nggak sopan amat sih, Yo!" tegur gadis itu.
Gio lagi-lagi terkekeh, entah apa yang lucu kali ini. Zia jadi menduga, apa sewaktu mereka liburan kepala Gio terantuk sesuatu? Tingkahnya aneh sekali hari ini.
Laki-laki itu menurut, mengetuk pintunya dengan mata masih terus menatap Zia. "Nah, kan nggak ada yang jawab. Ayo masuk aja." ajaknya lagi.
Zia tentu saja menggeleng tegas. "Ah udahlah pulang aja. Rumah siapa coba? Nggak tau orang capek apa, mampir-mampir segala." Gadis itu mengomel sembari berderap pergi.
Tetapi, tiba-tiba Gio datang dari arah belakang lalu membopongnya. Spontan, Zia memekik. Gio gila! Jantungnya benar-benar hampir mencolot keluar gara-gara tingkah lelaki itu.
Tanpa mendengar berbagai protesan yang di keluarkan Zia, Gio membawa gadis itu masuk ke dalam rumah—yang entah milik siapa. Setelah kakinya berhasil masuk sekitar tiga langkah dari pintu, Gio berhenti. Di dalam sana, gelap. Cahayanya hanya berasal dari celah-celah kecil, tapi itu pun sama sekali tidak membantu.
KAMU SEDANG MEMBACA
SOULMATE✔
Teen Fiction⚠️NO YET REVISION Antariksa High School series #1 Ketika orang yang membuat moodmu selalu hancur menjadi orang yang dipercaya kedua orang tuamu untuk menjagamu selamanya. "Dasar iblis dingin laknat! Ketua OSIS sok narsis! lo kira gue bakal nurut s...