Empat hari di Swiss, lima hari di Belanda lalu sekarang berakhir di negara lahirnya para pria berwajah cantik. Tulang pipi Zia terus-terusan naik dikarenakan dirinya yang tersenyum lebar. Sesampainya di bandar udara tadi, tiba-tiba Zia menyapa orang tidak dikenal. Jelas saja Gio—yang memang tidak mengerti dengan arti sapaan Zia—langsung meminta maaf dengan menggunakan bahasa inggris. Dia meringis, sementara Zia malah terbahak. Gio terlalu awam untuk hal seperti itu.
Suhu udara di negara ini memang tidak beda jauh dengan dua negara sebelumnya yang mereka datangi. Tapi, tentu saja, mau sedingin apapun Zia tidak akan pernah goyah. Tercapai sudah keinginannya sedari dulu, negara yang di impi-impikan para kaum hawa di luar sana akhirnya ia sambangi. Tapi, tunggu, tiba-tiba dirinya teringat akan Reyzand lebih tepatnya kata-kata Reyzand yang melarang keras dirinya datang ke sana. Ah, masa bodohlah. Dia datang untuk bersenang-senang, masalah abangnya bisa diurus nanti ketika dia sudah pulang.
"Yo, koper yang satunya mana?" berangkat membawa hanya dua koper, lalu sekarang sudah bertambah dua koper lagi, bahkan ini saja belum hendak pulang.
Tadinya Zia hanya akan membeli oleh-oleh seperlunya saja tapi tiba-tiba mami Siska menelepon dan mengatakan apa yang harus Zia bawa pulang, lalu disusul oleh bunda Risma, dan jadilah sekarang barang bawaan mereka yang seabrek. Gio juga hanya bisa menurut jika tidak ingin di cincang oleh bunda dan mertuanya.
"Di samping meja." Gio menjawab.
"Ini kita pulang beneran bawa sebegini banyaknya koper?" Zia masih terheran-heran. Ini mereka liburan atau pindahan?
"Ya gimana lagi, daripada gak dibeliin terus marah ,kan?" sebenarnya tidak mungkin jika sampai marah, tapi ini juga hitung-hitung berbakti kepada orang tua.
Zia mengangguk, lalu lekas berderap ke arah balkon. Menggeser pintu kaca yang membatasi antara luar dan dalam, setelahnya langsung diterpa dengan angin yang dingin. Gadis itu kembali lagi masuk ke dalam. Mengambil jaket tebal supaya tubuhnya lebih hangat.
Pemandangan dari atas memang lebih menakjubkan, apalagi ini malam hari. Zia tersenyum sembari menutup mata, menghirup udara lalu menghembuskannya. Begini saja hidupnya terasa lebih ringan. Tak berselang lama, Gio menyusul, berdiri di samping Zia dan mengikuti apa yang baru saja Zia lakukan—menutup mata. Kedatangan Gio tentu saja membuat gadis itu menoleh, kedua alisnya terangkat saat mendapati Gio keluar hanya dengan memakai kaos lengan pendek serta celana piyama.
"Gak dingin, Yo?" tanyanya.
"Udah kebal gue mah," lelaki itu menjawab sembari terkekeh kecil dengan mata yang masih terpejam.
"Awas masuk angin." istrinya memperingati dan hanya dihadiahi anggukan dari Gio.
Keduanya kembali diam, menikmati malam di negara itu. Sama-sama sibuk dengan isi pikiran mereka masing-masing, sampai tiba-tiba Zia kembali bersuara.
"Kenapa bang Rey selalu ngelarang gue dateng ke tempat ini?" hanya gumaman, tapi Gio tentu saja masih bisa mendengarnya.
Seketika Gio kembali teringat tentang penolakan tegas kakak iparnya di malam itu. Dirinya juga bertanya-tanya mengenai faktor yang membuat Reyzand seolah-olah sangat anti dengan negara ginseng tersebut. Sebelum keberangkatan mereka berlibur, Reyzand berbicara dengan Gio secara empat mata. Mengatakan jika Gio harus selalu berada di sisi Zia selama mereka berlibur di Korea. Gio meng-iyakan, tentu saja. Sebenarnya dirinya juga khawatir, tetapi sebisa mungkin mengatur gerak-gerik supaya Zia tidak curiga.
"Yo, besok kita ke mana?" Zia menoleh begitupun dengan Gio. Beberapa detik Gio hanya terdiam—memikirkan tempat mana yang akan mereka datangi.
"Namsan tower?" si Gio malah balik bertanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SOULMATE✔
Fiksi Remaja⚠️NO YET REVISION Antariksa High School series #1 Ketika orang yang membuat moodmu selalu hancur menjadi orang yang dipercaya kedua orang tuamu untuk menjagamu selamanya. "Dasar iblis dingin laknat! Ketua OSIS sok narsis! lo kira gue bakal nurut s...