Di dunia ini ada banyak hal yang bisa kita lakukan. Mulai dari hal yang sederhana, sampai hal yang istimewa. Asalkan hal itu bisa membuat kita bahagia, atau selalu bahagia. Tetapi kadang, seseorang secara tidak sadar selalu melakukannya dengan berlebihan. Mulai dari sesuatu yang kecil. Dan akhirnya, ketika sesuatu yang selalu membuatnya bahagia itu hilang, pergi, atau mungkin berganti dimiliki orang lain, sedih itu datang membunuhnya.
Dan lagi, sebuah keputusan selalu mempunyai konsekuensi sendiri akhirnya.
Seperti Gio yang dulu mengambil keputusan untuk setuju dengan perjodohan yang dilakukan Ayahnya. Menikahi Zia, menjadikan Zia wanita terakhir yang ada dihidupnya. Walaupun awalnya tanpa rasa apapun, tidak ada kata cinta yang dirasakan Gio untuk Zia. Tetapi ia nekat mengambil keputusan itu. Dan sekarang, konsekuensi yang harus ditanggungnya adalah hidupnya sudah bergantung pada Zia. Sepenuhnya.
Tak apa. Gio bahagia dengan konsekuensi itu. Apa yang sudah menjadi jalannya ia yakin Tuhan sudah mengatur semuanya. Bahagianya, sedihnya, susahnya, menderitanya, semuanya sekarang bukan hanya ia sendiri yang merasakan. Tetapi, Zia juga.
Bukan Gio membagi kesedihan dengan Zia. Yang ia lakukan adalah menceritakan segala hal yang sudah ia lewati hari demi hari dengan Zia, dan Istrinya itu selalu dan selalu menguatkannya. Membuatnya sadar, betapa hebatnya Tuhan memberikan sebuah ujian. Selalu mengajarkan Gio untuk terus bersyukur, karena diluar sana masih banyak orang yang lebih-lebih tidak beruntung.
Lalu, ketika rasa penat setelah seharian bekerja menyerang, obat yang dibutuhkan Gio hanyalah rumah. Senyum manis Istrinya ketika menyambutnya pulang, usapannya, omelannya yang tidak pernah absen, membuat Gio lupa dengan rasa penat yang seharian sudah membuatnya hampir tumbang.
Apalagi sekarang ada malaikat kecil yang hadir diantara mereka. Membuat hidup Gio tidak pernah absen dari rasa bersyukur.
Malam ini Iza kembali terbangun. Sudah menjadi rutinitas memang. Bayi berumur satu bulan itu selalu terbangun entah tengah malam, menjelang fajar, ataupun saat Zia baru saja terlelap. Alasannya karena popoknya yang penuh, haus, atau mungkin rewel seperti bayi-bayi pada umumnya. Dan tak jarang juga Zia selalu susah untuk kembali tidur setelah menenangkan anaknya.
Lelah? Pasti. Tapi, Ibu mana yang pernah mengeluh saat mengurus anaknya. Nantinya, lelah itu akan sirna setelah melihat keberhasilan yang diraih anaknya. Jadi, jangan pernah kecewakan Ibumu ya.
“Loh, kok ikut bangun?” suara Zia mengalun pelan saat melihat Suaminya beranjak dari atas kasur. Berjalan menghampirinya yang sedang duduk dikursi, menyusui Iza.
“Mau nemenin kamu.” jawab Gio.
Laki-laki itu duduk diatas ubin, kepalanya bersandar dipaha Zia, dan matanya kembali terpejam.
Lah, katanya mau nemenin. Gimana, sih Papa Gio?
“Pindah atas sana, dingin loh kamu duduk dibawah gini.”
“Bentar doang.”
Tidak ada yang sebentar jika Gio sudah menempel dengan Zia. Dan Zia sudah hafal betul diluar kepala.
“Masuk angin nanti, Mas.”
“Kebal aku mah.” perlu diketahui, sedari tadi Gio menjawab Zia masih dengan kepala bersandar dan mata terpejam.
Zia merasakan de javu saat ini. Dia pernah mengatakan hal yang sama dulu, saat mereka berlibur ke Korea. Dan jawaban Gio pun tidak beda jauh. Segaris senyum simpul tergambar. Mengingat sekarang mereka tidak hanya berdua saja. Sudah ada Putri kecilnya.
“Ini Iza udah selesai nyusunya, minggir ih. Di bilangin dingin malah gak bangun-bangun." ngomel mode on. “Mas, bangun. Aku mau mindahin Iza dulu.” kata Zia lagi setelah ia tidak menerima respons apapun dari Suaminya.
Dan akhirnya Gio bergerak. Membuka satu matanya lalu mendongak, menatap Zia. Tidak kunjung berdiri juga seperti apa kata Zia. Membuat Ibu muda itu menggoyangkan pelan kakinya.
“Iya-iya nih bangun.” bibir Gio mencebik, persis seperti anak kecil merajuk. Seperti tidak ingat jika sekarang ia sudah punya anak, tingkahnya pun masih sering manja dengan Zia.
“Kamu laper gak?” Zia bertanya setelah berhasil meletakkan Iza ke box bayi. Gio belum kembali tidur, malah sekarang duduk dikursi yang tadi Zia duduki.
“Makan mie kayaknya enak, deh.”
“Mau?” dan Gio mengangguk.
Zia kembali meraih Iza, membawa Putri kecilnya ke dalam gendongannya. Syukurnya, Bayi kecil itu hanya menggeliat dan kembali terlelap.
“Sini, aku aja yang gendong.” Iza berpindah ke dalam pelukan Papanya.
Lalu mereka turun ke lantai satu. Dapur menjadi tujuannya. Gio duduk di kursi meja makan, sementara Zia mulai membuat apa yang tadi diinginkan Suaminya.
“Buat dua ya, satu mangkuk aja tapi. Di makan berdua biar kayak orang pacaran.” kata Gio.
_____________________________________
Allo!
Kurang puas dengan yang ini?
Tunggu Extra part 2 yaa!!
See u ❤❤
KAMU SEDANG MEMBACA
SOULMATE✔
Fiksi Remaja⚠️NO YET REVISION Antariksa High School series #1 Ketika orang yang membuat moodmu selalu hancur menjadi orang yang dipercaya kedua orang tuamu untuk menjagamu selamanya. "Dasar iblis dingin laknat! Ketua OSIS sok narsis! lo kira gue bakal nurut s...