49 || Bad News

8.3K 337 70
                                    

"Sya, lo ada jadwal gak hari ini?" si ibu hamil bertanya.

"Ada lah, emang di pikir rumah sakit nenek gue apa?" entah Zia nya yang salah bertanya, atau Nasya nya saja yang tidak bisa biasa saja.

"Ye kan gue nanya kali, buk." Zia mencibir, Nasya ini jika datang bulan mengesalkannya lebih-lebih dari sifat manjanya Gio.

"Mau minta anter jemput Gio pasti." sudah bisa dipastikan, Nasya semalam mendengar pembicaraan mereka.

"Gak perlu gue jawab, kan? Ya udah." Zia berderap pergi ke kamar. Tidak akan ada habisnya jika menghadapi Nasya yang sedang menjelma menjadi manusia paling menyebalkan. Ujung-ujungnya Zia yang harus mengalah, kalau tidak begitu Vea yang turun tangan.

Gio tadi sudah menghubungi Zia sewaktu lelaki itu masih berada di hotel. Memberi kabar jika sebentar lagi ia akan pulang. Tentu saja Zia excited dengan hal tersebut. Dan sekarang pun gadis itu sedang bersiap-siap. Menghubungi bang Reyzand adalah hal yang Zia lakukan setelah membenahi penampilannya.

Sementara Vea, gadis itu ada urusan. Menjadi seorang penulis terkadang juga membuat Vea kelimpungan. Dan Nasya, masih seperti hari-hari lainnya. Duduk di depan televisi sembari menunggu jam praktiknya. Cukup membosankan, tapi tak apa, demi Zia ia rela menemani walaupun terkadang sering tak ditemani.

Tangannya meraih remote untuk mengganti chanel. Satu tekan, dua tekan dan berhenti. Tidak hanya gerakannya saja yang berhenti, melainkan napasnya pun seolah-olah ikut berhenti. Gadis itu diam, bahkan ketika Zia berkoar-koar menanyakan kunci mobilnya. Suara sahabatnya hanya menjadi angin kosong. Otaknya berusaha mencerna apa yang sedang pembawa acara itu sampaikan.

"Gak mungkin," Nasya bergumam pelan diiringi dengan gelengan. "Ini gue salah baca, pasti. Iya, gue salah baca." selanjutnya Nasya beranjak berdiri.

Tempo detak jantungnya semakin kencang kala ia mendapati Zia yang sudah berdiri mematung di belakang sofa. Dan bodohnya Nasya lupa mematikan televisi.

"Sya..."

Buru-buru Nasya menggeleng, berderap menghampiri Zia dan berusaha menarik gadis itu pergi. Zia tetap geming, tatapannya tak beralih barang sesenti pun dari layar televisi yang masih menyiarkan sebuah berita.

"Itu bohong, kan?" seperti diberi efek slow motion Zia menoleh ke arahnya. Dan Nasya hanya menggeleng keras, berusaha meyakinkan Zia. Padahal dia sendiri tidak yakin.

"Sya.. Jawab." suara Zia memelan, matanya memerah, Nasya yakin sebentar lagi Zia akan menangis.

"Nggak, Zi. Ayo pergi." sekali lagi Nasya berusaha menarik Zia, tetapi percuma. Zia tetap berdiri di tempat.

"Gio... Pesawat Gio, gak jatuh, kan?" hilang, suara Zia menghilang di akhir kalimat. Tubuh ibu hamil itu pun mendadak lemas. Nasya spontan menopang, dan memeluk Zia.

"Itu prank, kan?" kesadaran Zia sudah seperti diambang-ambang, sebelum benar-benar hilang dan Nasya kelimpungan.

🐨


Playing now ➡ tanpa pesan terakhir [seventeen]

Langkahnya cepat, bahkan ia berlari. Tidak peduli dengan perutnya yang sudah membesar, tidak peduli dengan beberapa orang yang ditabraknya. Yang ia pedulikan sekarang hanya satu, teman hidupnya, sandaran baginya, rumah baginya, tempat tak berujung yang ia punya, satu-satunya hal yang bisa membuat ia bahagia. Ia tidak mau ditinggal, ia tidak mau kehilangan, ia tidak mau sendiri, ia belum siap, atau bahkan sampai kapan pun tidak akan pernah siap.

SOULMATE✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang