Malam itu, hujan turun dengan derasnya. Seperti membawa beribu-ribu kepiluan jatuh ke bumi, seperti mewakili perasaan Zia, seperti ingin menghibur Zia dengan suara gemuruhnya. Tidak ada teriakan memilukan lagi, yang tersisa hanya tetes-tetes air mata dan bongkahan hatinya yang sudah hancur. Setidakterima itu dirinya ditinggal pergi oleh Gio, setidakpercaya itu Zia sampai-sampai menganggap bahwa semuanya hanyalah mimpi.
Tangannya meremas kuat baju Sang Suami, dia rindu akan pemiliknya. Bayangan-bayangan kenangan kebersamaannya dengan Gio kembali datang menyerbu. Hatinya sudah semakin hancur kala itu, Gio pergi dan Zia tidak sanggup menghadapinya.
Berita itu tidak bisa disanggah lagi setelah barang-barang milik Gio ditemukan serta, Rendy, asisten Gio juga sudah ditemukan. Zia semakin hancur saja ketika mendengar jenazah Gio hilang. Belum selesai menghadapi kepergian Gio, sudah ditambah lagi dengan hilangnya lelaki itu. Kesedihan Zia semakin menjadi-jadi saja.
"Dek?" bahkan suara Reyzand ia abaikan terus-menerus. Zia terlalu lelah menghadapi ini. "Keluar bentar deh, jangan di dalem terus." abangnya ini sifat menjengkelkannya bisa ditinggal sebentar tidak sih?
Zia mendengus, menghapus kasar air matanya lalu beranjak membukakan pintu. Wajahnya sudah tidak terkondisikan lagi, sembab karena terus-menerus menangis. Tapi, walaupun begitu Zia tidak peduli.
"Pengganggu." kata itu pertama kali muncul setelah melihat keberadaan Reyzand. Moodnya semakin menjadi-jadi saja hancurnya.
"Ada yang mau ketemu sama lo."
"Ish! Udah di––" kalimatnya menggantung begitu saja. Tubuh Reyzand bergeser perlahan, memberi ruang bagi penglihatan Zia.
Di sana, di ujung anak tangga seseorang berdiri. Wajahnya melukis satu lengkungan senyum, senyum yang Zia harapkan bisa dilihatnya lagi. Kembali penglihatannya kabur oleh air mata yang lagi-lagi berkumpul dipelupuk matanya, tangannya pun menggenggam erat. Sebelum orang itu berjalan mendekat, Zia sudah lebih dulu berlari berhambur dipeluknya.
"Badanku basah lho ini," Zia tidak peduli dengan itu. Yang dia butuhkan hanyalah peluknya.
Kenyataannya malam itu, hujan deras tidak hanya mewakili Zia yang tengah bersedih, melainkan hujan itu juga mengantar kembalinya Gio. Lelaki itu masih ada, dia masih diberi napas di dunia. Dan Gio sangat bersyukur dengan hal itu.
"Kamu jahat!" Zia memukul dada suaminya. Senang, marah, bingung, haru, sedih, bercampur menjadi satu. Perwakilan untuk segala emosinya hanyalah air mata.
"Aku pulang." seperti janjinya saat di bandara waktu itu, tepat sekali.
Hujan di malam itu, menjadi saksi atas kejadian yang sebenarnya. Gio tidak ada di pesawat, lelaki itu kembali ke kantor setelah Karen–CEO di Singapura–menjemputnya lagi, memberitahu bahwa ada beberapa masalah yang belum di selesaikan. Dan Gio kembali, meninggalkan Rendy pulang sendiri, membiarkan maut merenggut nyawa asistennya. Barang-barang miliknya turut serta bersama Rendy, tak terkecuali ponselnya. Oleh sebab itu dirinya tidak bisa menghubungi satu orang pun di Indonesia, ketika ingin memberitahu keberadaannya.
Beruntung Ayah Ronald datang menjemput, memarahi dirinya habis-habisan karena teledor. Hanya lelaki paruh baya itu saja yang tahu bahwa Gio baik, tidak ada di pesawat. Dan untuk memberi pelajaran atas kebodohan putranya, Ayah Ronald datang sendiri ke Singapura. Tidak memberitahu keluarganya sebelum dirinya sendiri yang memastikan.
"Kamu kok bisa basah semua gini?" Zia bertanya di sela usahanya menarik ingus.
"Lari dari depan ke dalem." seakan tahu jika Zia belum puas atas jawabannya, Gio kembali menambahkan. "Mobilnya aku tinggal depan gerbang."
KAMU SEDANG MEMBACA
SOULMATE✔
Teen Fiction⚠️NO YET REVISION Antariksa High School series #1 Ketika orang yang membuat moodmu selalu hancur menjadi orang yang dipercaya kedua orang tuamu untuk menjagamu selamanya. "Dasar iblis dingin laknat! Ketua OSIS sok narsis! lo kira gue bakal nurut s...