48 || Miss

7.1K 312 13
                                    

Apa yang lebih berat dari menahan rindu? Rindu memeluknya, rindu dengan sifat abnormalnya, rindu mengomelinya, dan rindu akan bau khas tubuhnya. Zia hanya bisa menahan. Setiap kali rasa itu datang mendobrak pertahanannya, yang bisa dia lakukan hanya menghubungi sang suami. Dan beruntungnya lagi, zaman sudah membantu. Kemodern-an sama sekali tidak menghambat sebuah hubungan, jika ingin bertatap muka, tinggal video call saja.

Sudah tiga hari Zia ditinggal Gio, sudah tiga hari pula ia selalu menangis diam-diam. Setiap malam, ketika sambungan telfon terputus, tiba-tiba gadis itu merasa mellow. Entahlah, mungkin karena bawaan sang jabang bayi yang rindu akan papanya.

Sementara Nasya dan Vea, mereka menghindar ketika pasangan itu mulai mengobrol. Memberi ruang pada Zia dan Gio untuk menumpahkan rasa yang mereka tahan, walaupun hanya lewat telfon. Dan bagian paling tidak mengenakkan bagi Nasya yaitu, ketika calon suami Vea juga menghubungi gadis itu. Akhirnya dirinyalah yang tersisa seorang diri, sembari menyaksikan hal yang lebih menggelikan di layar televisi.

"Lo gak ada jadwal, Sya?" Zia bertanya, biasanya di jam-jam segini Nasya punya jadwal praktik. Dan biasanya juga, dia hanya berdua dengan Vea dirumah atau tidak sekedar berjalan-jalan di taman komplek.

"Libur dong, nyonya. Masa iya weekend tetep kerja." balas Nasya gemas. Pertanyaan Zia unfaedah sekali.

Zia terkekeh, dia juga lupa kalau hari ini minggu." Iya-iya gue lupa."

Keduanya sedang menunggu Vea menyiapkan camilan. Bukannya Nasya dan Zia tidak mau membantu, tapi Vea yang melarang tegas. Memang dasar Nasya dan Zia saja, bukannya meringankan apa yang sedang dilakukan Vea, eh malah membuat hal yang tidak menguntungkan. Zia masih mending, lah Nasya? Memang pantasnya gadis itu berada di ring tinju saja dari pada di dapur.

"Sya, jalan yuk!" Zia berseru tiba-tiba.

"Nggak deh, gue masih waras buat nginget anceman suami lo, Zi." Nasya bergidik ngeri. Bagaimana pun juga, dia masih ingat ketika Gio marah sewaktu SMA dulu karena Zia. Seramnya melebihi Omanya.

"Yah, Sya.. Bosen nih. Masa dari kemarin gini-gini terus." Zia perlu jalan-jalan untuk mengusir rasa suntuknya.

"Izin dulu deh lo sama si Gio. Gue masih sayang nyawa Zi," walaupun Nasya yakin seyakin-yakinnya kalau dia bisa melawan Gio, tapi lebih baik mencegah hal yang tidak diinginkan, bukan?

"Gionya gak bakal tau, kali." cemas, kalau semisal dia mendengar suara sang suami, jiwa mellownya keluar.

"Ya udah, gak jadi pergi."

"Eh! Ya, jangan gitu juga dong, Sya. Chat aja ya? Siapa tau dia lagi sibuk." Zia memelas, dia tidak ingin Nasya maupun Vea melihatnya menangis seperti yang sudah-sudah.

"Gak mungkin juga Gio tega gak jawab telfon dari lo, Zi." namun begitu, Nasya tetap mengangguk.

Tiga puluh menit waktu yang dibutuhkan mereka bertiga untuk bersiap-siap. Sebenarnya tidak sampai selama itu, berhubung kemauan ibu hamil harus dituruti—kalau tidak nanti imbasnya ada di baby—jadi Nasya dan Vea menurut untuk memakai baju senada. Dan yang paling menderita si ibu dokter, Nasya. Karena warna pinklah yang Zia pilih. Warna yang paling tidak disukainya. Untung saja Zia sedang mengandung ponakannya, kalau tidak, demi bulan dan bumi sampai kapanpun Nasya tidak akan sudi memakai baju warna itu.

"Gue tunggu di mobil aja, deh," mendengar itu, kompak Vea dan Zia menggeleng tegas.

Ini sudah kesekian kalinya gadis itu merengek bak anak kecil, sangat tidak ingat umur sama sekali. Hanya karena Nasya malu dengan apa yang dipakainya. Padahal mah biasa saja, cuma blous pink dipadukan dengan celana putih. Orang lain yang melihat juga tidak akan berkomentar atau berpikir yang aneh-aneh. Tapi, dasar Nasya nya saja yang parno, katanya bagaimana jika mereka bertemu dengan teman lama? Bisa habis harga dirinya.

SOULMATE✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang