26. Toxic mom (?) 2

183 13 0
                                    

"Jian, noona akan mendengarkan mu, apapun itu kau bisa percayakan pada noona"

Nana segera berlari menuju atap. Tak lupa ia mencegah eommanya mengikutinya. Telfon itu tetap dalam sambungan. Ia masih mendengar Jian yang menangis.

Sungguh seluruh tubuhnya bergetar tak karuan. Sambil terus bekata "Jian noona akan ada bersamamu ok, noona akan selalu ada"
.
.
.

Sampai

Matanya menemukan anak laki-laki itu terduduk di pinggir pembatas sambil menangis, dengan ponsel yang masih ada di telinganya.

Dengan cepat, Nana merengkuh anak itu menjauhkannya dari pembatas. Memeluknya begitu erat, dan ikut menangis.

"Astaga Jian... Ada apa? Kenapa? Kau... Hiks, jangan sayang... Noona tak tau harus hidup bagaimana kalau kau mengakhiri hudupmu dengan paksa begitu, noona tak bisa membayangkannya. Jangan... Noona mohon jangan pernah lagi"

Tubuh Nana benar benar bergetar hebat. Tenaga dan emosinya sudah sangat habis terkuras untuk hari ini. Ia lelah, sangat lelah. Tapi otaknya menolak bekerja sama. Telinganya berdengung kencang. Perutnya mual. Kepalanya pening bukan main, pandangannya memudar.

"Ayo pulang" Nana mengajak Jian bangkit. Namun begitu ia berdiri kepalanya terasa ingin pecah.

"Noona..."

"Tak apa, ayo pulang"

Sebisa mungkin ia menahan rasa sakitnya, pandangannya yang buram ia paksakan melihat. Setidaknya mereka harus keluar dari atap ini.

Begitu ia turun dari tangga atap. Seketika Nana terduduk. Kepalanya sangat pening.

"Noona maafkan aku..." Ucap Jian penuh penyesalan.

"Sudah, hah... Sudah berlalu" Ucap Nana menggenggam tangan Jian erat.

Jian dapat merasakan, tangan noonanya yang dingin dan bergetar. Ia tak tau harus apa, ini salahnya. Kebodohannya yang luar biasa.

"Bukan salah mu. Ini sudah biasa terjadi kok" Ucap Nana, susah payah.

Ya sudah biasa terjadi, tapi sudah dulu sekali. Ini pertama kalinya terjadi lagi.

Perlahan Nana bangun dan kembali berjalan dengan Jian sebagai topangan beban tubuhnya.

"Jian, eomma mungkin masih di dalam" Ucap Nana begitu pintu terbuka.

Benar disitu eommanya sudah menunggu "Drama apa ini?"

Nana merasakan Jian meremas bahunya, penuh takut dan cemas. Ia menarik nafas panjang, berusaha berbicara selancar mungkin.

"Kita bicarakan semuanya besok pagi. Eomma mau menginap atau tidak?"

"Siapa kau mengaturku harus bagaiman?!" Bentak eommanya.

"Eomma... noona tidak melakukan drama atau apapun itu. Noona sakit, noona lelah eomma"

"Jian, kau sudah berani membantah eomma karena dia, eomma bilang apa tentang anak itu! Kenapa kau tak mengerti! Kau bilang kuliah di seol, eomma mengizinkanmu tapi bukan di univ yang sama dengan anak itu, dan jurusannya... Kau..."

"CUKUP! Ini rumahku! Kau tidak menganggapku sampai sekarang bukan?! Jadi silahkan keluar! Datang besok dan bicarakan apapun yang ingin kau bicarakan. Saya sangat lelah, dan sangat memohon dengan hormat nyonya Kim, silahkan keluar" Ucap Nana final.

"Lihat? Kau lihat itu? Jian, kau sungguh mengecewakan eomma" Ucap eomma mereka, sambil berlalu pergi.

Begitu pintu tertutup, Nana menghembuskan nafas panjang. Pergi ke dapur, meneguk satu botol air hingga tandas.

"Jian, ayo istirahat"

Nana menarik Jian ke kamarnya. Memintanya mengambil kasur lipat yang ia simpan di lemari, dan memintanya tidur disana.

"Noona, maafkan aku"

"Hmm, semua sudah berlalu. Istirahatlah, kau pasti sangat lelah juga"

Satu jam sudah ia berusaha untuk tidur. Namun tubuhnya terus merasakan sakit yang sama. Ia lelah namun matanya tak mau terpejam. Telinganya berdenging ribut membuatnya tak tenang. Dilihat adiknya sudah tertidur pulas di bawah, segera ia bangun mengambil obatnya. Dua butir ia telan, dan kantuk perlahan menghampiri.
.
.
.
.
.
.
.
.
Pagi ini ia menelfon manager BTS untuk izin datang terlambat. Menelfon beberapa dosen karena tidak dapat memenuhi janji temunya.

"Jian, bangun ayo sarapan"

"Ugghh... Nee.." Jawab Jian, namun ia justru semakin meringkuk di dalam selimut.

"Jian... Cepat. 5 menit sudah ada di meja makan" Ucap Nana, sambil menarik selimut adiknya. Dan pergi.

"Ugghh, ini masih jam setengah tujuh" Keluh Jian. Heran noonanya itu bangun jam berapa sih?

Namun ia segera bangun dan melipat tempat tidurnya, kemudian cuci muka dan sikat gigi. sebelum pergi ke ruang makan.

Di meja makan ia melihat sudah ada roti lapis dan dua gels susu. Serta noonanya yang terus memandangi layar ponselnya  yang tergeletak di meja.

"Noona..."

Nana menoleh kearah Jian, dan tersadar bahwa ia sudah terlalu larut dalam pikirannya sendiri.

"Jian, eomma akan datang sebentar lagi, jadi ayo habiskan sarapannya"

Mereka segera menghabiskan sarapannya dengan tenang. Begitu selesai Nana mencuci piring dan gelas kotor, sebelum kembali duduk untuk berbicara dengan dongsaengnya.

"Kau ingin cerita sesuatu?"

Jian dengan ragu menceritakan apa yang ia rasakan.

"Aku merindukan noona, tapi eomma selalu bilang noona sudah mati, noona anak sial, aku akan dalam bahaya kalau berada di dekat noona. Aku lelah. Aku bertemu noona, rasanya bahagia sekali, rasanya akhirnya aku menemukan noonaku yang selalu memberikan permen, dan tersenyum canggung, dan menangis karena kau pergi. Tapi lagi, ah.. Selalu, eomma memisahkan kita lagi. Aku tak mau, aku ingin bersama noona."

"Sudah sejak naik kelas 3 SMA aku memikirkan bagaimana caranya mati, aku memikirkan berbagai cara. Tapi setiap aku akan melakukannya, aku selalu teringat masih ada noona, yang aku harap bisa ada di sampingku. Tapi, kemarin... aku tak tahu harus bagaimana. Aku lemah noona, aku lemah. Begitu noona pasrah, seolah tak ingin memperjuangkanku, rasanya menyedihkan sekali"

Jian menarik nafasnya panjang, menatap noonanya tepat di pusaran hitam berkilau yang ia sukai "Seolah dunia memang menakdirkanku untuk selalu menjadi boneka eomma"

Nana masih terpaku, menatap Jiannya penuh ketidak percayaan. Hidup anak ini berkebalikan dengan hidupnya, namun masih dalam konteks negatif. Eommanya terlalu terobsesi dengan anak laki-lakinya, dia terlalu mencintai anaknya. Sampai tak tahu bahwa anaknya hampir mati tercekik. Sedangkan Nana, ia dilepas bahkan dibuang bak sampah, bukan anak-ku, katanya.

"Jian... Kemari sayang, pasti selama ini sangat menyakitkan. Maafkan noona, kemarin noona tidak begitu memikirkan posisi mu. Noona akan berusaha membantu mu ok, mungkin semuanya tidak akan langsung selesai, tapi akan selalu ada solusi"

*Ding Dong*

BTS Maid (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang