*ding dong*
'Sudah waktunya' batin nana.
Ia menarik nafas panjang, melepaskan pelukan, dan menatap Jian dengan senyum yang menyakitkan.
Ini sangat menyakitinya, terlalu banyak hal menyakitkan yang ia terima dalam kurun waktu kurang dari 1 jam berkomunikasi dengan eommanya. Sekarang ia mau tak mau harus menguatkan diri, mengontrol emosi dan akalnya untuk menghadapi eommanya. Semua demi dongsaeng satu-satunya.
"Silahkan masuk" Ucap Nana mempersilahkan eommanya masuk.
Namun ia terbeku di depan pintu. Disana, tidak hanya eommanya saja tapi ada seorang pria. Ada sosok terakhir yang ia sentuh kakinya sebelum pergi dari Daegu.
"Oh, umm... Silahkan masuk" Ucap Nana linglung. Ia tak mau mendapat penolakan dengan menyebut pria itu sebagai appa.
Nana memperasilahkan keduanya duduk di ruang TV. Mata pria itu memutari seluruh ruang apartemennya, dan tahu bahwa putrinya ternyata tidak hidup susah.
"Diamana Jian?" Ketus eommanya.
Nana menarik nafas dan baru sadar kalau adiknya sudah tidak ada di dapur. Ia menggeleng kemudian masuk ke kamar adiknya itu. Kosong. Astagaa...
Sedikit kesal Nana masuk ke kamarnya sendiri dan benar saja menemukan dongsaengnya terduduk di ranjangnya.
"Jian, ayo" Ucap Nana tegas. Membuat Jian tak dapat menolak ataupun merengek sama sekali.
Sebagai formalitas, nana mengambil emapat botol air dingin untuk mereka semua.
"Jadi?" Tanya Nana, memulai percakapan mereka.
"Aku akan tetap bersama noona!"
"Jian..." Ucap Nana dengan nada begitu renda. Memperingatkan adiknya untuk tidak memperkeruh suasana.
"Lihat, aku bilang apa Jian menjadi seperti itu karena anak ini. Sekarang dia begini besok dia akan celaka!" Ucap eommanya. Seolah mengadu pada appanya.
Nana menghela nafasnya panjang. Memperhatikan setiap gerakan tubuh dan ekspresi dari kedua orang tuanya. Ia mengerutkan dahinya ketika melihat appanya menggeleng pelan.
"Jian, ini pertama kalinya kau berbohong dan membantah. Kau tau betapa terlukanya appa dengan hal itu?"
Nana terkejut, matanya membulat. Ini pertama kalinya ia mendengar suara appanya. Pertama kali, suara yang begitu dalam namun lembut itu masuk ke telinganya.
Setengah mati ia tahan air matanya yang menggenang. Ada rasa haru dan menyakitkan bercampur dan bergemuruh begitu kuat dalam dadanya.
"Appa... Aku ingin tinggal dengan noona, aku merindukan noona. Aku sayang noona. Tidakkah appa sayang noona? Bukannya noona juga anak appa?"
"Jian, apa hanya karena itu kau membohongi dan membantah appa?"
Nana seketika tersenyum miring 'hanya' katanya. Ia memang tak boleh berharap sama sekali. Tak akan ada celah Nana.
Jian meremas baju belakang Nana. Membuat noonanya itu menoleh padanya yang sudah tak tahu berkata apa.
Nana yang melihat ekspresi bingung itu, menghela nafasnya panjang menarik tangan diknya yang meremas bajunya sampai kusut itu ke atas lututnya.
"Jelaskan dengan baik" Ucap Nana sambil menatap Jian dengan tegas.
"Jian... Jian lelah appa, Jian tidak suka bisnis. Jian lelah menuruti semua kemauan eomma dan appa, Jian lelah mendengar eomma dan appa bertengkar, Jian ingin sekalii saja kalian mendengarkan keinginan Jian, sekalii saja"
KAMU SEDANG MEMBACA
BTS Maid (End)
FanfictionWarn! Ada boy x boy, ada lurus juga! Nana, seorang mahasiswi S2 yang memiliki setumpuk pekerjaan freelance dan pekerjaan dari dosen ditambah tugas kuliah. Namun memilih untuk kembali menjadi maid di dorm BTS, sebagai bahan penelitiannya. Menghadapi...