Sebenarnya Gava ingin mengajak adiknya itu jalan-jalan. Dia tahu, adiknya pasti ingin tahu banyak tentang dnia luar. Terlihat jelas dari matanya yang selalu berbinar saat melihat sekelilingnya. Sesekali berdecak kagum melihat bangunan mewah ataupun gedung pencakar langit yang membuat gadis itu harus mendongak untuk melihatnya. Tapi itu hanya ada diangan Gava. Tadi saat mereka mampir untuk mengisi bensin, dan Gava mengecek ponselnya yang terus bergetar. Ponsel yang jarang ramai itu tiba-tiba saja menjadi sangat ramai. Ramai oleh spam dari keluarganya. Bukan untuk menanyakannya, melainkan menanyakan keadaan putri tunggal Wiratama.
Harusnya dalam waktu sekitar setengah jam mereka sudah sampai, tetapi macet dijalanan ibu kota menghambat perjalanan mereka. Salah satu isi dari pesan para saudaranya adalah kenapa dia tidak membawa mobil saja? Namun setelah melihat banyaknya pengguna jalan membuat Gava tersenyum miring. Motor saja sulit untuk lewat, apalagi mobil yang memakan banyak tempat.
Sekitar pukul enam lebih, motor sport Gava baru saja memasuki pelataran rumah. Tepat saat mesin motornya mati, pintu rumah terbuka dan keluarlah keempat kakaknya. Gava menelan ludahnya susah payah melihat tatapan tajam dari para kakaknya. Selesai sudah hidupnya hari ini.
Seperti sebelumnya, Gava membantu adiknya melepas helm. Dipelukan adiknya terdapat paper bag besar berisikan semua buku-bukunya. Gava sudah akan membawakannya, tetapi ditolak. Adiknya itu malah berjalan duluan tanpa tahu akan ada masalah besar yang menimpa mereka. Ralat, bukan mereka tapi hanya dirinya. Gava Alfano Wiratama.
"Hai Kak Reza, Kak Galih, Kak Regan, Bang Gibran." sapa Revika ceria pada semua kakaknya.
Keempat pria itu melunakkan wajahnya melihat ekspresi ceria adik kecil mereka itu. Apa yang telah dua termuda Wiratama itu lakukan sampai Revika terlihat sangat senang?
"Bawa apa?" tanya Regan seraya menghampiri adiknya. Lengannya melingkari bahu sang adik kemudian mencium pipi mulus adiknya itu.
"Buku. Kak Gava beliin Vika banyak buku tadi." jawab Revika semangat. Sebenarnya tadi dijalan dia melakukan tentang semua nama panggilan dari para kakaknya. Karena ada yang memanggilnya Vika, Rere, juga Angel, jadi mulai sekarang dia tetap membiasakan menyebut dirinya sendiri Vika. Meski saat berbicara dengan Regan maupun Gibran.
"Dapet duit darimana lo?" tanya Gibran pada Gava setelah adiknya itu sudah mendekat.
"Ngepet." jawab Gava asal.
"Ngepet itu apa?" tanya Revika bingung. Membuat semua kakaknya melihat kearahnya dengan berbagai jenis tatapan.
"Jangan dengerin Gava, ayo masuk," ajak Reza. Setelah menepis tangan Regan yang melingkari bahu adiknya, dia bergantian melingkari bahu adiknya itu. Mengajak sang adik masuk kedalam rumah.
"Beli berapa buku?" tanya Galih. Pria itu berjalan disisi lain adiknya.
"Lima buku non-fiksi, sepuluh novel. Jadi totalnya lima belas." jawab Revika.
Tanpa disadari oleh gadis itu, empat dari kakaknya sudah menajam mendengar jawaban adik kecil mereka, sedangkan satunya sudah menelan ludah merasakan hawa suram disekitarnya.
"Kakak aja yang bawa, pasti berat." ujar Galih kemudian merebut paper bag besar itu dari pelukan adiknya. Penolakan dari Revika sama sekali tak ia hiraukan.
"Beneran itu nggak berat Kak!" kesal Revika karena ucapannya sedari tadi tak diindahkan oleh kakak keduanya. Dia tidak selemah itu, sampai membawa lima belas buku saja tidak kuat.
"Udah biar Galih aja yang bawa. Sekarang kamu kekamar, mandi terus turun buat makan malam," ujar Reza, meski lembut namun sarat akan perintah. Membuat Revika hanya bisa mengangguk patuh. Bersama dengan Galih, gadis itu pergi menuju kamarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
New Life (#1 Wiratama's) [End]
General FictionWiratama Series 1. New Life 2. Nona Mantan 3. New Feeling Hidup tanpa tahu dunia membuatnya seperti mayat hidup. Bukan fisiknya yang terlihat mengenaskan, tetapi psikisnya. Seperti dongeng cerita seorang puteri yang dikurung dalam menara tinggi, beg...