New Life || 22. Ijin

23.3K 1.7K 15
                                    

Hingga makan malam berlangsung, Revika masih memikirkan tentang ijin dari keluarganya. Dia bingung, dia takut untuk meminta ijin. Dia takut tidak dibolehkan. Apalagi setelah melihat reaksi abangnya tadi. Nyalinya semakin menciut untuk meminta ijin pada yang lain.

Sepanjang makan malam berlangsung, Revika menjadi lebih pendiam. Merespon seadanya saat ditanya. Tidak bertanya-tanya seperti biasanya. Terlihat sangat berbeda dari biasanya. Dan hanya Gibran yang tahu alasannya.

Sedaritadi Gibran terus mengamati sikap adik bungsunya. Hanya diam dengan kepala tertunduk. Terlihat seperti tengah memikirkan sesuatu. Dia tahu apa yang dipikirkan adiknya. Pasti tentang hal yang ditanyakan sang adik padanya tadi. Dia sendiri pun bingung, dia ingin tidak memberi ijin, tapi melihat adiknya seperti ini dia jadi tidak tega.

Hingga makan malam berakhir sikap Revika tidak juga berubah. Membuat semua orang -minus Gibran- merasa bingung dengan sikap bungsu Wiratama. Saat Alina bertanya, Revika hanya menjawab dengan gelengan. Lalu saat ditegaskan kembali, dia hanya akan menjawab 'nggak pa-pa'.

Regan yang mendengar jawaban adiknya hanya bisa mendengus. Ternyata semua perempuan itu sama, itulah pemikiran otaknya. Dia pikir hanya para doi-nya saja yang begitu, ternyata adiknya pun sama. Ditanya, jawabnya 'nggak pa-pa', padahal yang sebenarnya adalah kebalikannya. Lalu saat terjadi sesuatu, nanti dia yang disalahkan karena dibilang tidak peka. Sungguh serba salah hidupnya menjadi seorang pria.

Seperti biasa, mereka berkumpul di ruang keluarga. Mereka kembali ada di lantai tiga. Kali ini disana sudah disiapkan sebuah piano. Rencananya Galih ingin mengajarkan adik bungsunya bermain piano. Karena itu lebih aman daripada bermain gitar. Dia tidak mau tangan adiknya sampai terluka karena gitar.

"Masih mikirin yang tadi?" tanya Gibran. Dirinya duduk disebelah adiknya yang masih saja diam.

Suara Gibran sebenarnya kecil, hanya saja yang lain tengah diam sekarang. Makanya mereka mendengar pertanyaan Gibran yang ditunjukkan pada sang adik. Empat putra Wiratama lainnya memandang bingung pada dua insan yang duduk bersebelahan itu.

"Mikirin apa?" tanya Gava dengan keponya. Dan itu mewakilkan semua pertanyaan dari para saudaranya.

Revika memandang Gibran dengan wajah ragu. Matanya mengerjap beberapa kali. Dia pusing, dia bingung, dan rasanya ingin menangis saja sekarang. Katakan kalau dia cengeng, karena memang begitu adanya. Ingin mencoba meminta ijin, tapi dia takut.

"Sayang..." Reza akhirnya bersuara. Matanya masih menatap sang adik, menunggu gadis itu bersuara.

Menelan salivanya susah payah, Revika menatap Reza masih dengan tatapan ragunya. "Vika boleh ikut kelas dance?" tanyanya dengan suara super kecil. Setelahnya dia kembali menunduk. Takut jika kakaknya akan memberi tatapan tajam seperti awal-awal mereka bertemu. Memang dulu bukan tertuju padanya, tapi tetap saja dia takut.

"Kamu ngomong apa tadi?" tanya Galih. Posisinya yang duduk dibalik piano, cukup jauh dari sang adik membuatnya tidak mendengar dengan cukup jelas.

"Kelas dance?" ulang Regan.

"Ini pasti Rahel yang bilang kan?" tebak Gava. Sedari tadi dia memang berpikir jika perubahan sikap adiknya dikarenakan oleh Rahel.

"Rahel? Cewek yang dibawa Reza?" tanya Galih. Mencoba mengingat siapa nama yang disebutkan oleh adiknya tadi. Gava menjawab dengan anggukan kepala saja.

"Buat apa kamu ikut kelas dance?" tanya Reza.

"Gausah ikut lah dek. Kakak ngeri kalau liat kamu nanti ngedance pake baju ketat." Regan bergidik ngeri membayangkannya. Jangan sampai hal itu terjadi. Bukan apa, dia memang pernah melihat mantannya -dimana dulu masih jadi pacar- ngedance dengan hanya menggunakan baju ketat juga celana setengah paha. Sungguh ngeri jika adiknya juga begitu. Dia tidak mau sampai ada pria lain yang melihat adiknya seperti itu.

New Life (#1 Wiratama's) [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang