New Life || 45. Keluar Negeri

18.4K 1.5K 68
                                    

Dua hari berlalu. Cukup banyak yang berubah di keluarga Wiratama. Di mulai dari tempat tinggal mereka, hubungan mereka yang nampak renggang. Galih yang masih saja bungkam dan si kecil yang menjadi begitu pendiam. Satu hal yang mereka tidak suka dari si bungsu Wiratama. Tidak mau berbagi masalah jika belum merasa terpepet. Contohnya ketika Revika membeberkan kisahnya pada Regan, itu terjadi karena dia sudah merasa begitu putus asa. Karena dia sudah yakin jika keluarganya tahu soal obat yang selama ini ia sembunyikan.

Jika dulu hanya akan ada para perempuan yang tinggal dirumah, sekarang berbeda. Biasanya meja makan hanya akan terisi oleh tiga orang -itupun jika Alina dan Farah tidak ikut sibuk- terkadang hanya ada Revika sendiri. Hingga gadis itu lebih memilih untuk makan siang di kamar atau di tempat lain yang ia inginkan. Sangat berbeda dengan sekarang, saat semua keluarga lengkap duduk bersama di meja makan. Masakan yang dibuat langsung oleh Farah dan Alina. Hanya ada pelayan untuk membersihkan rumah saja disini, bagian dapur jatuh pada dua ibu rumah tangga itu.

Bersyukurlah masih ada si pencair suasana disini. Siapa lagi kalau bukan Gava? Putra bungsu dari Gifri dan Farah. Seperti biasanya dia akan mengoceh. Walaupun hanya Regan dan kedua ibunya yang lebih sering menimpali. Biasanya akan ada Revika. Dan tentu jika Revika sudah membuka mulut maka saudaranya yang lain akan ikut bersuara.

"Mamah mau kasih tahu sesuatu." ucap Alina membuat suara tawa Gava terhenti. Semua orang terfokus pada istri dari Rian. Memandang penasaran pada wanita itu.

Senyum manis terulas dibibirnya. Namun yang ada dipikiran orang-orang senyum itu bukanlah pertanda baik. "Mamah akan membawa Revika ke luar negeri."

Benar saja!

Layaknya tertimpa bom tanpa aba-aba. Tersambar petir disiang bolong. Dan semua perumpamaan yang ada di dunia ini kini mereka rasakan. Ada apa? Padahal dua hari ini masih adem ayem saja. Walaupun si bungsu belum kembali seperti biasa. 

Berbagai reaksi ditunjukkan oleh mereka -kecuali Revika. Dari Gava yang tersedak makannya, Regan yang hampir menyemburkan air -beruntung tidak terjadi-, Gibran yang menjatuhkan sendok, Farah tersedak minumannya, sedangkan selebihnya masih terlihat cool. Tatapan tidak percaya bercampur kaget mereka tunjukkan.

"Mah?" tanya Rian tidak percaya. Istrinya tidak mengatakan apapun sebelumnya. Jadi apa arti maaf sebelumnya jika Alina memilih pergi bahkan tidak mengajaknya sama sekali.

"Tabungan Mamah masih cukup buat biayain hidup beberapa bulan kedepan." ujar Alina tenang. Mengabaikan keterkejutan keluarganya. "Hanya Mamah dan Vika yang pergi." lanjutnya kembali membuat semua orang tercengang.

"Jangan bercanda Alina!" tekan Rian memperingati. Bagaimana bisa istri dan anaknya pergi ke negara lain tanpa dirinya? Ia yakin mereka akan pergi dalam waktu yang jelas tidak singkat.

"Aku nggak bercanda Mas. Kamu tetep aja disini, biar aku sama Vika yang pergi. Kami disana perlu uang kan? Apalagi buat biaya pengobatan Vika, jelas butuh uang banyak. Jadi Mas harus tetap disini dan cari uang buat kami, setuju?"

"Nggak!" penjelasan panjang lebar Alina langsung dibalas tegas oleh Rian. "Jangan lupa-"

"Ini syarat dari aku Mas." Alina kembali tersenyum. "Inget kan?"

Ingin rasanya Rian mengumpat saat itu juga. Memaki keadaan yang tak kunjung berpihak padanya. Syarat itu, mana mungkin ia lupa. Sudah dua hari ini ia menunggu sang istri memberi syarat agar dimaafkan. Ya, setelah percakapan malam itu Alina memang sudah biasa saja. Tetapi dia memberi syarat sebelum benar-benar memaafkan kesalahannya. Siapa pikir jika syarat seperti ini yang Alina berikan.

"Vika mau sayang?" tanya Farah. Dalam hati ia begitu berharap agar Revika menolak. Dengan begitu keinginan iparnya tidak akan terpenuhi.

"Ya."

New Life (#1 Wiratama's) [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang