350+ vote. Nggak nyangka akutuh, bisa segitu dalam waktu sehari. Karena votenya sebanyak itu, jadi aku kasih bonus. Jangan lupa tinggalkan jejak ya!
Happy reading!
*****
Mereka hanya dapat melihat si bungsu dari luar tanpa bisa menyentuh kesayangan mereka yang kini tengah terbaring lemah dengan beberapa alat medis menempel pada tubuhnya. Banyak orang bilang jika seharusnya pria tidak boleh menangis. Pria yang menangis berarti lemah. Kalau begitu, hari ini Gava akui jika dirinya lemah. Karena melihat kondisi adiknya seperti ini, air matanya sudah tidak bisa ia bendung lagi. Rasa bersalah pun menggerogoti dirinya, jika saja dia tidak mengajak adiknya menonton film, jika saja dia tidak memilih film sialan itu, pasti adiknya tidak akan seperti ini. Namun semua hanya berakhir pada penyesalan.
"Jangan sedih," tepuk dibahu Gava membuat anak itu menoleh. Melihat siapa orang yang menepuk bahunya.
Reza. Orang itu Reza. Tak pernah ada dalam pikiran Gava jika kakak tertuanya, yang terkesan sangat tidak peduli pada sekitar kini berdiri dibelakangnya. Menepuk bahunya seolah menyiratkan semua akan baik-baik saja. Mengatakan agar dia tidak sedih.
Alih-alih merasa lebih baik, tangis Gava malah pecah sekarang. Anak itu berbalik dan memeluk kakak tertuanya. Biarlah dia menjadi cengeng hari ini. Ia hanya ingin melepas beban untuk sesaat.
"Bukan salah kamu Gav, mungkin emang udah waktunya kita tahu gimana masalalu adek. Walaupun adek nggak kambuh sekarang, suatu saat nanti dia juga bakal kambuh. Adek punya trauma, dan selama ini adek berhasil nutupin semua itu dari kita. Memang terlalu cepat, tapi seenggaknya kita jadi tahu kondisi adek sebenernya gimana." tutur Reza lembut. Sungguh Gava merasakan pria ini seperti bukan kakaknya. Begitu lembut dan pengertian. Menenangkan sang adik agar berhenti menangis. Ah, dia jadi bingung sendiri dengan sikap kakaknya.
"Jangan nangis, Vika nggak suka liat kakaknya nangis." Reza mendorong tubuh adiknya pelan. Tak dia sangka adik kecilnya, yang paling jahil diantara yang lain, kini tingginya sudah hampir setelinganya. Mungkin nanti Gava akan lebih tinggi darinya.
Disisi lain, Gibran tengah membujuk ibunya agar mau makan. Sedari tadi ibunya belum mau makan. Padahal mereka sudah cukup lama disana. Walaupun hanya sedikit, ibunya harus makan. Ia tidak mau sampai ibunya sakit. Bisa hancur dunianya melihat dua wanita yang paling ia cintai terbaring lemah diatas ranjang rumah sakit.
"Bunda... Kalau Bunda sakit nanti siapa yang bakal jagain Angel? Bunda makan ya?"
"Kamu aja Bang, Bunda masih pengin liat Vika." sahut Farah tanpa menoleh. Wanita yang kini berada dalam rengkuhan putranya hanya bisa menatap nanar putrinya dari balik kaca. Bahkan dia tidak bisa menyentuh putrinya.
"Ayah tadi pesen sama Abang buat ajak Bunda makan, emang Bunda mau nolak perintah Ayah? Perintah suami Bunda loh ini."
Memang tadi Gifri berpesan seperti itu pada anaknya. Pria itu sudah pergi untuk mengurus administrasi. Katanya sekalian akan mengambil perlengkapan Revika bersama Regan.
Terdengar helaan nafas dari ibunya membuat Gibran tersenyum. Usahanya tidak sia-sia. Kedua sudut bibirnya tertarik ketika ibunya menoleh kemudian mengangguk. Tanda persetujuan. Tahu begini dia akan menggunakan nama Ayahnya sedari tadi. Bundanya ini, memang akan menurut jika Ayahnya yang memberi perintah.
"Reza, Gava, makan yuk?" ajak Farah. Dilihat kedua putranya yang tengah duduk di kursi panjang depan ruangan Revika. Entah sejak kapan keduanya sudah ada disana. Seingatnya mereka masih berdiri berjejer bersama tadi untuk melihat kondisi adik mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
New Life (#1 Wiratama's) [End]
General FictionWiratama Series 1. New Life 2. Nona Mantan 3. New Feeling Hidup tanpa tahu dunia membuatnya seperti mayat hidup. Bukan fisiknya yang terlihat mengenaskan, tetapi psikisnya. Seperti dongeng cerita seorang puteri yang dikurung dalam menara tinggi, beg...