"Mamah!"
Teriakan itu menarik atensi semua orang. Mata mereka tertuju pada sosok yang kini berlari menghampiri ibunya. Alina yang menyadari hal itu melepas pelukannya pada Regan. Kedua tangannya terulur menyambut pelukan putrinya. Putri tunggalnya. Tangannya mengusap pelan rambut panjang milik anaknya.
"Hey, kenapa nangis sayang?" heran Alina kemudian mendorong putrinya pelan. Kedua tangannya menangkup wajah putrinya yang terasa lebih tirus. Hatinya teriris mengingat putrinya tidak baik-baik saja selama ini. Seakan semua hal yang terlewati hanya sebuah cover. Cover yang begitu bagus hingga menutupi kecacatan buku.
"Mamah kenapa nangis?" balas Revika balik bertanya. Karena dia pun tidak tahu alasan kenapa menangis. Melihat ibunya menangis ia pun menangis. Seolah dapat merasakan kesedihan sang ibu.
"Mamah nggak nangis kok, beneran. Iya kan Kak?" sengaja Alina melontarkan pertanyaan pada Regan agar membantunya.
Revika menatap kakak dan ibunya bergantian. Lalu kembali menatap mata ibunya. "Beneran?" tanyanya masih merasa belum percaya.
"Iya sayang..."
"Terus kenapa mata Mamah merah?"
Sebisa mungkin Alina mencoba agar tidak terlihat salah tingkah. Kebiasaannya jika berbohong. "Emm... Itu... Ah, Mamah tadi jatuh terus matanya kemasukan debu kayaknya deh. Makanya jadi merah."
"Mamah bohong." tembak Revika tepat sasaran. Seketika Alina terdiam mendengar itu. Putrinya bukan lagi anak kecil yang dapat dengan mudah dikelabuinya. Tersenyum manis, Alina mengusap lembut kepala putrinya.
"Udah ketemu sama Kakek dan Nenek?" tanya Alina mengalihkan pembicaraan.
Kepala Revika bergerak menoleh pada dua sosok yang sempat mencuri perhatiannya tadi. Wanita dengan rambut hampir putih semua tersenyum padanya. Juga pria yang duduk disebelah wanita itu. Keduanya terlihat baik. Lalu kenapa ibunya menangis tadi? Pertanyaan itu masih saja bersarang di kepalanya.
"Sini sayang sama Nenek!" panggil Alivia lembut. Tangannya melambai memberi kode agar cucu perempuan satu-satunya mendekat.
Merasa ragu, Revika menoleh pada ibunya. Walaupun ibunya sudah mengangguk tanda memberi ijin tetap saja ia masih ragu. Ragu untuk mendekat pada orang yang dikatakan sebagai neneknya. Sekilas tadi dia melihat wajah menyeramkan neneknya. Ia takut akan hal itu.
"Sayang..." Alina mengusap pelan kepala putrinya yang terlihat melamun.
"Sama Mamah." Revika menarik tangan ibunya agar ikut mendekat.
Alivia yang melihat itu hanya bisa tersenyum miris. Cucunya terlihat takut padanya. Padahal sewaktu masih kecil cucu kesayangannya ini selalu merasa nyaman dalam gendongannya. Jika saja wanita sialan itu tidak muncul, pastilah sekarang cucu kesayangannya akan berlari kearahnya ketika pertama bertemu. Saling memberikan pelukan kuat. Melepas rasa rindu karena telah lama tidak berjumpa. Namun semua itu hanya dalam angan. Karena pada realita semuanya berkebalikan.
Kedua tangannya menggapai tangan cucunya. Membungkus tangan mungil itu dengan kedua tangan keriputnya. "Kamu udah besar aja, rasanya baru kemarin cucu nenek ini pipis di gendongan nenek."
Jika Alivia terlihat begitu senang dapat berjumpa kembali dengan cucunya berbeda dengan Revika yang nampak gerogi. Satu tangannya berada dalam genggaman neneknya, tangannya yang lain mencengkram kuat baju ibunya. Ia tidak suka orang baru yang menurutnya tidak baik -jika dilihat dari cover. Berbeda ketika ia bertemu dengan Rahel, teman dari kakak termudanya yang terlihat baik juga ceria. Ah, dia jadi merindukan Rahel. Sudah cukup lama ia tidak berjumpa temannya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
New Life (#1 Wiratama's) [End]
General FictionWiratama Series 1. New Life 2. Nona Mantan 3. New Feeling Hidup tanpa tahu dunia membuatnya seperti mayat hidup. Bukan fisiknya yang terlihat mengenaskan, tetapi psikisnya. Seperti dongeng cerita seorang puteri yang dikurung dalam menara tinggi, beg...