.Epilog.

34.4K 1.8K 129
                                    

Waktu terus berjalan walaupun terkadang terasa lambat. Beberapa bulan berlalu dan perubahan semakin terasa. Sepinya rumah besar Wiratama membuat Farah menghela nafas. Terlebih putra sulungnya atau lebih tepatnya putra angkatnya memilih untuk tinggal di kediaman Sanjaya. Kediaman yang sudah lama kosong, hanya ada beberapa pelayan saja agar rumah besar itu tidak kotor. Publik sekarang sudah mengetahui jika Galih adalah keturunan Sanjaya yang disembunyikan selama ini. Penerus SJ Group yang masih berjaya dibawah kepemimpinan Gifri selama ini.

Tiga putra lainnya juga tengah sibuk mengurus pekerjaan mereka. Reza yang semakin sibuk karena mengurus pembukaan cabang ditambah keputusan Rian yang akan menyusul anak istrinya. Pria itu berkata tak apa meninggalkan dua putranya yang sudah besar, lebih baik dia mendampingi kedua wanita kesayangannya. Regan awalnya menolak keras, karena kepergian Papahnya keluar negeri berarti menambah beban baginya. Putra kedua dari Rian itu memilih merintis usahanya sendiri. Setelah mendapat persetujuan dari Reza, anak itu dengan begitu semangat mulai membangun usahanya. Jika sampai Papahnya pergi, pasti dia harus ikut membantu Kakaknya mengurus TM Corp. Perusahaan raksasa milik keluarganya. Gibran yang memilih menjadi arsitek sangat tidak bisa diandalkan. Terlebih Kakaknya -Galih- sekarang sibuk mengurus SJ Group, jadi sudah pasti dia harus ikut terjun mengurus TM Corp jika Papahnya pergi. Lalu bagaimana dengan usahanya sendiri?

Malam ini meja makan terisi penuh -tentu minus tiga orang yang tengah berada di benua lain- karena Farah mengharuskan semuanya hadir. Termasuk Galih. Di meja makan besar itu hanya ada satu wanita saja. Sedangkan para kaum pria berpakaian formal semua karena baru pulang dari kantor. Sudah seperti makan malam perusahaan bukan?

"Papah serius pergi?" tanya Regan masih menolak kenyataan.

"Hm, Papah harus liat pembangunan hotel buatan Gibran."

Yang namanya tersebut hanya merotasikan matanya. "Kalau emang buatan Gibran, kenapa nggak make perusahaan tempat Gibran kerja aja Pah?"

"Kejauhan."

"Pembangunan di Singapura nggak di kontrol juga Pah?" pertanyaan yang dilontarkan Reza dengan pembawaan tenang mengundang tawa beberapa orang. "Disana kan nggak ada Mamah, buat apa Papah kesana?" cibir Regan sarkatis.

Jika saja posisi putra keduanya itu dekat, pasti Rian sudah memukul mulut lemes itu dengan sendok. Bagaimana bisa dia memiliki putra seperti itu? Ngidam apa istrinya saat hamil Regan dulu. "Makanya nikah biar tahu rasanya," balas Rian.

"Udah siap jadi Kakek emang Pah?"

"Kamu nggak lihat Papah kamu ini makin tua? Cepetan pada nikah, kasih Papah cucu yang banyak!"

"Kak Galih tuh yang udah ada pacar Pah!"

Galih yang tengah makan dengan kalem seketika tersedak. Padahal dia tidak berkomentar apapun sejak tadi, kenapa juga namanya jadi terseret? "Reza aja dulu," tolaknya secara halus. Jika Regan saja bisa mengorbankan dirinya, kenapa dia tidak bisa mengorbankan Reza bukan?

"Belum ada calon." jawab Reza seperti biasa, tenang. Tetapi ketenangan itu hilang ketika Bundanya mengeluarkan suara. "Kalau gitu Bunda cariin calon ya?"

Kepalanya yang sedari tadi menatap makannya, terangkat kemudian menoleh pada Bundanya. Senyum tipis tercetak di wajahnya yang kalau diam terkesan kaku. "Reza belum minat Bun, jangan dipaksa ya?" pintanya sehalus mungkin.

"Kapan kamu minat? Sampai Vika nikah juga kamu nggak bakal minat!" sinis Farah yang membuat Reza terkekeh. Nyatanya sang Bunda sudah sangat mengerti dirinya. Lalu untuk apa memaksanya menikah?

Suara dering telepon mengurungkan niat Regan yang akan membuka suara. Semua orang saling tatap, seolah bertanya ponsel siapa yang berbunyi. Sebenarnya acara makan tidak boleh diganggu oleh panggilan apapun, tetapi kali ini biarlah. Mungkin ada sesuatu yang penting.

New Life (#1 Wiratama's) [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang