Mata Regan menatap kosong langit-langit kamar. Tatapannya menerawang jauh, mencoba melihat kembali kejadian bertahun-tahun lalu. Usapan di kepalanya masih terasa. Tetapi itu tak cukup memberi ketenangan pada hatinya yang mulai muncul rasa bersalah.
"Mah?"
"Ya Kak?"
"Kenapa Regan sama Kak Reza nggak inget apa-apa?"
Benar. Dia maupun Reza tidak mengingat apapun akan kejadian itu. Ingatan keduanya seakan dibersihkan. Yang mereka ingat hanyalah adik kecil mereka yang diculik. Hanya itu saja. Padahal kejadian itu tepat didepan mata mereka.
"Kalian trauma." Alina menghela nafas. Mengingat masa-masa sulit itu membuatnya kembali sedih. Dia merasa benar-benar gagal menjadi ibu saat itu. Putrinya diculik, lalu kedua putranya mengalami trauma. "Mamah nggak mau kejadian itu ganggu mental kalian, jadi Mamah setuju untuk menghapus ingatan kalian."
Pantas saja baik dia maupun kakaknya tidak ada yang mengingat kejadian itu. Keduanya trauma. Jika mereka saja yang hanya melihat mengalami trauma, lalu bagaimana dengan adiknya? Apa kabar adiknya selama ini? Apa saja yang sudah dialami adiknya?
Kakak nggak nyangka kamu bisa sekuat itu dek. Gumamnya dalam hati, mengingat bagaimana adiknya bersikap biasa saja ketika baru saja kembali. Menunjukan sikap polosnya, tetapi tidak menunjukkan seperti telah mengalami kejadian berat, tentu kecuali fisiknya. Karena dilihat dari kurusnya Revika dulu, ia sadar jika hidup adiknya mungkin kurang layak. Atau mungkin memang tidak kayak.
"Seharusnya Regan yang diculik waktu itu." gumamnya pelan. Tubuhnya bergerak, merubah posisinya menjadi miring. Wajahnya ia tenggelamkan ke perut ibunya. Mencari rasa nyaman untuk meredam emosinya.
"Ssttt, nggak boleh ngomong gitu. Semua sudah di takdirkan. Kita nggak bisa menolak takdir." dengan lembut Alina mengusap kepala putranya. Jari-jarinya tenggelam pada rambut legam putranya. Dia seperti merasa de javu, dulu pun mereka pernah seperti ini. Regan kecil datang padanya, menangis dengan wajah dibenamkan pada perutnya, sedangkan pangkuannya dijadikan bantal oleh putra keduanya itu. Tapi sekarang putranya sudah tumbuh menjadi sosok yang dewasa. Waktu berjalan begitu cepat rupanya.
Masih terasa bagaimana berat hari-harinya pasca kehilangan sang putri. Pertengkaran hebat antara ia dengan sang suami tak terelakkan. Hanya saja mereka bertengkar tanpa membuat anak-anak mereka tahu. Lalu kedua putranya yang mengalami trauma hingga harus menjalani terapi. Padahal fisiknya pun ikut terluka pada saat itu. Rasanya semua bercampur menjadi satu hingga dia mati rasa.
Sejak saat itu, Gifri memutuskan agar kedua keluarga tinggal satu rumah dengan alasan agar bisa menjaga keluarga kakaknya. Ia tahu persis bagaimana pernikahan kakaknya. Sikap acuh kakaknya bisa membuat keluarganya hancur. Dengan Alina beserta anak-anaknya tinggal bersama keluarganya, ia yakin wanita yang menjadi kakak iparnya itu tidak akan merasa kesepian lagi.
Tapi semua itu belum berakhir bagi Alina, karena setelahnya ia harus menerima kemurkaan mertuanya. Orangtua suaminya itu benar-benar murka ketika mendengar berita jika cucu perempuan satu-satunya diculik. Padahal mereka berdua baru saja kembali dari liburan. Tak lama kemudian kedua mertuanya memutuskan untuk tinggal di desa. Alasannya untuk menikmati masa tua bersama, tapi Alina tahu jika keduanya pergi karena masih marah padanya.
Bertahun-tahun hubungannya dengan sang suami merenggang. Mungkin jika dia tidak ingat dengan anak-anaknya, pasti dia memilih untuk berpisah saja. Lagipula ia yakin, suatu saat putrinya pasti akan kembali. Dan jika benar, dia tidak ingin putrinya berada di keluarga yang tidak utuh.
Dan benar. Putrinya kembali. Pelengkap keluarga Wiratama sudah kembali. Putra-putranya yang tadinya memisahkan diri dengan hidup sendiri-sendiri diluar, kembali kerumah mereka. Hubungannya dengan sang suami pun membaik. Putrinya memang membawa banyak kebaikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
New Life (#1 Wiratama's) [End]
General FictionWiratama Series 1. New Life 2. Nona Mantan 3. New Feeling Hidup tanpa tahu dunia membuatnya seperti mayat hidup. Bukan fisiknya yang terlihat mengenaskan, tetapi psikisnya. Seperti dongeng cerita seorang puteri yang dikurung dalam menara tinggi, beg...