Matahari tengah berada tepat diatas kepala, memancarkan sinarnya yang begitu menyengat ketika menerpa kulit. Revika yang sudah lelah juga kepanasan memilih menghampiri keluarganya yang tengah duduk disebuah restoran. Pohon kelapa sudah tidak lagi bisa melindungi mereka dari teriknya matahari, makanya mereka berpindah.
"Udah puas mainnya?" tanya Farah menyambut kedatangan putrinya dan disusul oleh tiga putranya -Gava, Gibran, dan Regan- sedangkan dua putranya yang lain sudah ada disini sejak tadi. Jika melihat Reza tidak ikut bermain bersama saudara-saudaranya yang lain, itu wajar. Karena sejak kecil memang Reza adalah anak yang pendiam. Berbeda dengan Galih yang lebih ceria, yang anehnya hari ini terlihat lebih pendiam. Ketika ditanya, putra sulungnya itu hanya menjawab sekenanya saja.
"Belum! Hehe..." cengir Revika kemudian mencium kedua pipi Bundanya. Dilanjutkan dengan mencium pipi Mamahnya. Setelahnya baru dia duduk diantara kedua ibunya itu.
"Mamah makan apa?" tanyanya melihat isi piring ibunya yang belum habis.
"Mau?" tawar Alina yang dibalas anggukan oleh putrinya. Segera dia menyuapi putrinya yang langsung disambut dengan semangat.
"Emmm, henyak!"
"Telen dulu sayang..."
Menuruti ucapan Mamahnya, Revika menelan makanan yang sudah dikunyahnya. Setelahnya dia kembali menyengir menunjukkan deretan gigi putihnya. Gemas melihat tingkah putrinya, Alina mencubit pipi putrinya yang mulai berisi sekarang. Senyum bahagia tercetak jelas diwajahnya melihat sekarang putrinya sudah tidak seperti dulu lagi.
"Gava nggak disuapin juga Mah?" tanya Gava yang tiba-tiba saja nongol disebelah Alina. Jika dilihat, Gava itu seperti anak yang suka iri pada saudaranya. Tapi kenyataannya tidak seperti itu, malah dia mau-mau saja jika disuruh mengalah. Dia hanya ingin ikut-ikutan saja, karena dia tidak mau ketinggalan sesuatu.
Menggelengkan kepalanya, Alina tetap menyuapi putra bungsunya. Sejak kecil memang Gava selalu dimanja, makanya tumbuh pun menjadi anak yang manja. Walaupun tidak keterlaluan. Namun ketika Gava kecil, yang waktu itu baru berusia dua tahun, selalu mengalah ketika ibunya lebih perhatian pada adik perempuannya yang masih kecil. Tidak ada rasa iri ketika semua orang lebih sayang pada adiknya. Dia pun ikut menyayangi adiknya seperti tidur disebelah adik kecilnya.
Rasanya baru kemarin Alina memotret Gava yang tengah tidur disebelah adiknya, sekarang dia sudah melihat anak-anaknya tumbuh besar. Rasa sesal selalu ada dihatinya ketika mengingat dia telah melewatkan masa pertumbuhan putrinya. Padahal dia juga Farah sudah mendambakan putri yang akan melengkapi keluarga Wiratama. Membayangkan ketika mereka mendadani putri kecil mereka dengan berbagai macam aksesoris. Melihat putri mereka mengenakan gaun princess. Melihat putri sematawayang mereka tumbuh bersama kakak-kakaknya.
"Mah..." tegur Rian ketika melihat istrinya melamun. Pandangan kosong Alina yang tertuju pada anak-anaknya diseberang. Ya, Revika sudah berpindah duduk diantara kakak-kakaknya, lalu diseberang mereka ada para orangtua.
"Eh? Kenapa Pah?" bingung Alina yang baru saja tersadar dari lamunannya.
"Ngelamunin apa?"
"Itu..." matanya beralih menatap anak-anaknya yang tengah makan sembari bersenda gurau. Senyum manis terpatri diwajahnya. "Mamah mikirin mereka, Mamah seneng liat mereka ketawa bareng. Impian Mamah sejak dulu." kepalanya menoleh pada sang suami, menatap suaminya dengan pandangan sulit diartikan.
"Kenapa?" tanya Rian seolah bisa membaca maksud dari tatapan istrinya.
"Pah..." suara Alina yang mengecil membuat Rian berinisiatif merangkul bahu istrinya kemudian menarik bahu mungil itu. Mengikis jarak keduanya. "Mamah ngerasain firasat buruk." lanjutnya lirih.
KAMU SEDANG MEMBACA
New Life (#1 Wiratama's) [End]
General FictionWiratama Series 1. New Life 2. Nona Mantan 3. New Feeling Hidup tanpa tahu dunia membuatnya seperti mayat hidup. Bukan fisiknya yang terlihat mengenaskan, tetapi psikisnya. Seperti dongeng cerita seorang puteri yang dikurung dalam menara tinggi, beg...