"Masa lalu, biar lah masa lalu~~
Jangan kau ungkit jangan ingatkan aku.""Kak Gava sehat?" pertanyaan polos itu meluncur begitu saja dari bibir Revika. Melihat tingkah konyol kakaknya ketika perjalanan pulang membuat dahinya berkerut.
"Masa-" Gava mengehentikan acara bernyanyinya. Kepalanya refleks menoleh pada adiknya yang duduk tepat disebelahnya setelah mendengar pertanyaan tadi. "Emang Kakak keliatan nggak sehat gitu dek?"
"Emm..." Revika menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal sama sekali. Bingung juga akan menjawab apa. Dia takut membuat kakaknya marah ataupun sedih.
"Bukan nggak sehat, tapi nggak waras." timpal Regan yang duduk disisi lain Adik bungsunya. Sedangkan Gibran dan Reza ada di depan. Hanya Galih yang tidak ada disini. Pria itu sudah pergi terlebih dahulu sekitar jam dua siang tadi.
"Enak aja, gue waras lah! Ya kan dek?" tanya Gava meminta dukungan.
"Bahasamu Gava." tegur Reza yang berada dibalik kemudi.
"Lupa Kak! Hehe..." cengir Gava dengan wajah bodohnya. Mulutnya memang kadang susah untuk ia kontrol.
"Kebiasaan," cibir Gibran yang duduk di kursi depan, sebelah Reza.
"Udah ih! Kok jadi ribut?" sela Revika sebelum Gava sempat mengeluarkan suara. Kadang perdebatan memang terjadi diantara mereka. Wajar memang, namanya juga saudara. Tetapi untuk kali ini Revika tengah tidak ingin melihat perdebatan. Apalagi tidak ada Galih, pria yang biasanya menjadi penengah. Karena Reza hanya diam saja ketika adik-adiknya ribut. Asal bukan Revika, maka Reza diam saja.
"Nggak ribut sayang." tutur Regan seraya mengusap kepala adiknya. Karena merasa nyaman, Revika langsung menjatuhkan kepalanya pada bahu sang kakak.
"Kenapa?" tanya Regan lembut.
"Capek." suara Revika yang teramat pelan mungkin hanya bisa terdengar oleh Regan saja. Dia lelah. Banyak pikiran yang bersarang di kepalanya. Tentang hari ulang tahunnya. Hari yang selalu ia benci sejak dulu. Hari dimana ia akan mendapat hadiah terburuk yang pernah dia dapat.
"Kak?" panggil Revika pelan.
"Hm?"
"Nanti Vika tidur sama Kakak ya?"
"Kangen dipeluk Kakak ya?" goda Regan sembari menjawil hidung adiknya.
Alih-alih menjawab, Revika malah semakin merapatkan duduknya pada sang kakak. Memeluk pinggang kakaknya dari samping. Kepalanya mencari posisi ternyaman di bahu kakaknya.
Regan yang melihat itu ikut merengkuh pinggang adiknya. Sedangkan tangannya yang lain mengusap kepala adiknya lembut. Menyingkirkan anak rambut yang jatuh ke wajah adiknya. Sudut bibirnya terangkat melihat kedua mata adiknya sudah terpejam. Sikap manja Revika sangat ia sukai. Lagipula jarang adiknya ini manja padanya. Karena kakak Revika banyak, jadi wajar jika dia kadang tidak terima bagian.
"Kenapa nggak nyender Kakak gantengmu ini sih dek?" gerutu Gava yang kini tengah bersandar pada pintu. Melihat dua insan yang kini tengah berpelukan dengan wajah cemberut.
"Berarti lo kurang bikin nyaman." sahut Regan dengan tatapan meledek.
"Wah bahasanya Kak!"
"Gava jangan berisik! Adek lagi tidur." tegur Reza. Sesekali dia melirik adiknya lewat kaca untuk memantau pergerakan adiknya.
"Kok gue lagi? Padahal kan harusnya Kak Regan yang kena." gerutu Gava pelan. Tapi sayang, telinga Reza masih bisa mendengarnya dengan jelas. Membuat dia kembali mendapat teguran dari kakak tertuanya. Apa ini yang dinamakan nasib bungsu? Ya, baginya dia masih bungsu untuk saudara lelakinya. Karena dia laki-laki yang paling muda di keluarganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
New Life (#1 Wiratama's) [End]
General FictionWiratama Series 1. New Life 2. Nona Mantan 3. New Feeling Hidup tanpa tahu dunia membuatnya seperti mayat hidup. Bukan fisiknya yang terlihat mengenaskan, tetapi psikisnya. Seperti dongeng cerita seorang puteri yang dikurung dalam menara tinggi, beg...