"Kamu abis nangis?" tanya Alina. Tangannya menelusuri wajah putrinya, mengusap pipi yang lebih berisi sekarang dengan lembut.
Bingung akan menjawab apa, Revika memilih menunduk. Berbohong bukanlah kebiasaannya. Apalagi jika sudah tertangkap basah seperti ini. Mungkin untuk menyembunyikan fakta tentang masalalunya dia masih bisa, tapi kalau untuk berbohong apalagi jika sudah ketahuan, itu sangat sulit.
"Kenapa sayang?"
Alina kembali bertanya. Ada yang aneh dengan putrinya. Ketika dia memeriksa suhu tubuh putrinya, normal. Tapi kenapa Revika memakai syal? Walaupun dia merasa senang, karena syal yang dipakai oleh Revika adalah syal yang dia beli dua tahun lalu. Sengaja dia simpan di lemari putrinya.
"AC-nya Bunda matiin ya?" tanya Farah. Sama seperti Alina, dia pun bingung dengan keadaan putri semata wayangnya.
Ragu, Revika mengangguk. Sebenarnya dia tidak mau AC dimatikan karena dia akan merasa panas. Tapi sekarang dia berpakaian seperti orang tengah kedinginan. Baju panjang hingga menutupi kedua telapak tangannya. Juga syal yang melilit lehernya. Padahal dia melakukan itu untuk menutupi bekas lukanya. Akan banyak pertanyaan yang dia dapat sampai luka-luka itu terlihat.
"Revika..."
"Vi-Vika pengin istirahat Mah." ragu, Revika mencoba membuat suaranya sebiasa mungkin. Kenapa juga panggilan ibunya dengan wanita itu sama? Dia menjadi merasa aneh saat menyebut ibunya dengan panggilan'Mamah'.
"Kamu udah tidur lama, emang nggak laper?" dengan sayang Alina mengusap pipi putrinya.
"Nanti Vika makan kok,"
Alina menoleh pada Farah. Memang sejak kedatangan mereka berdua, Revika terlihat seperti tidak mau ada mereka disini. Terlihat seperti terganggu. Ingin menghindar dari kedua ibunya. Mereka sadar betul akan hal itu, makanya sampai sekarang mereka belum menyinggung soal kelas dance yang ingin Revika ikuti.
"Yaudah kamu istirahat aja. Nanti malem kamu turun ya?"
Ragu, Revika mengangguk samar. Ada rasa tidak yakin, tapi jika dia tidak mengangguk maka ibunya tidak akan kunjung pergi. Berbohong adalah hal yang tak ia sukai, makanya ia ingin kedua ibunya segera pergi darisana. Agar dia tidak perlu berbohong apapun.
"Mamah sama Bunda keluar, kamu harus makan okay?" Alina beranjak dari duduknya. Melihat putrinya mengangguk, dia mengacak pelan puncak kepala putrinya.
Ketika Alina menjauh, Farah mendekat kemudian mencium pipi putrinya. "Jangan sampai sakit." ujarnya kemudian pergi menyusul iparnya.
Mereka berdua tahu, jika Revika tidak sakit. Melainkan ada hal lain yang gadis itu pikirkan. Ingin bertanya, tapi kondisi putri mereka kurang meyakinkan. Sejak kembalinya Revika kerumah ini, mereka bertekad tidak akan menyakiti satu-satunya putri keluarga Wiratama. Menjaga putri mereka dengan baik agar kejadian silam tidak terulang lagi. Makanya mereka tidak memaksa sang putri bercerita, takut membuat Revika menangis nantinya.
Sedang Revika bisa menghela nafas lega ketika kedua ibunya keluar. Ini baru ibunya, belum kakak-kakaknya. Meyakinkan para saudaranya itu lebih sulit ketimbang kedua ibunya. Dia yakin akan hal itu.
Suara notifikasi dari ponsel membuat dia menoleh. Apa ada yang mengirimnya pesan? Siapa? Kakaknya kah? Merasa penasaran, Revika mengambil ponsel yang tergeletak diatas nakas. Walaupun belum tahu banyak, setidaknya dia sudah bisa membalas pesan lewat aplikasi yang sudah didownload oleh kakak termudanya.
Rahel
Lo lagi ada masalah?Nanti pulang sekolah gue telfon ya? Mau kesana nggak dibolehin sama Gava soalnya
KAMU SEDANG MEMBACA
New Life (#1 Wiratama's) [End]
General FictionWiratama Series 1. New Life 2. Nona Mantan 3. New Feeling Hidup tanpa tahu dunia membuatnya seperti mayat hidup. Bukan fisiknya yang terlihat mengenaskan, tetapi psikisnya. Seperti dongeng cerita seorang puteri yang dikurung dalam menara tinggi, beg...