New Life || 23. Takut

22.2K 1.7K 33
                                    

Revika terbangun dengan keadaan cukup berantakan, berbeda dari pagi-pagi sebelumnya. Pagi ini dia bangun dengan keadaan mata bengkak, rambut acak-acakan seperti singa. Saat dia melihat pantulan dirinya sendiri di cermin, dia merasa ngeri sendiri.

Tangannya menyentuh sesuatu di lehernya. Sebuah garis merah, bekas sayatan benda tajam. Matanya terpejam sebentar, kemudian kembali terbuka. Ingatannya kembali pada kejadian tadi malam. Tidak ada yang masuk ke kamarnya karena kamarnya sudah dia kunci.

Ada rasa perih saat dia menyentuh bekas sayatan itu. Ingatannya kembali pada masa itu. Masa dimana hidupnya benar-benar kelam.

Emosi Revika berada pada puncaknya. Dia ingin marah, memukul seseorang tetapi dia hanya sendirian. Sendiri disebuah ruang berdinding kaca. Dimana dia bisa melihat orang 'itu' ada disana. Dibalik kaca, tengah melihatnya dengan senyum kecil tersungging di bibirnya.

Ucapan orang itu sangat tidak bisa dia terima. Dia tahu, dia sadar, dia mulai paham dengan tujuan wanita itu selalu mempermainkan emosinya sejak kecil. Sejak usianya baru menginjak delapan tahun.

Dimulai dari hal kecil seperti, buku bacaan yang direbut paksa darinya. Dulu, dia akan menangis, meraung keras. Berteriak meminta bukunya kembali. Lalu saat emosinya sudah berada pada puncaknya, maka orang itu akan memberinya obat. Obat yang bahkan sampai sekarang tidak dia ketahui namanya. Yang dia tahu, dengan obat itu dia bisa tenang kembali. Dan hingga usianya mencapai 16 tahun, dia kecanduan dengan obat itu.

Dan pada saat itu, saat emosinya berada pada puncaknya, dia tidak mendapatkan obat itu. Dia membutuhkannya. Karana dia sendiri pun tidak tahu dengan keinginan dalam dirinya yang ingin melukai seseorang. Yang sayangnya tidak ada seorang pun disini, dan itu membuat dia ingin melukai dirinya sendiri.

Ajaran dari orang itu memang benar-benar berpengaruh padanya. Dulu, sebelum emosinya mulai dipermainkan, dia tidak berani memberontak. Kepalanya selalu tertunduk. Menurut dengan semua yang dikatakan oleh orang yang menemuinya. Mempelajari hal yang diajarkan.

Tapi itu dulu, sebelum dia diajari untuk memberontak. Atau lebih tepatnya dia di dorong untuk memberontak. Mengajarkan padanya agar dia menolak, menyuarakan isi otaknya, meski hal itu tidak akan terwujud. Sayangnya, dia menjadi orang suka memberontak sejak saat itu. Saat dia diganggu, saat sesuatu mengusik perasaannya dia akan merasa emosi. Dan saat dia menginginkan sesuatu, maka dia harus mendapatkannya, jika tidak, emosinya akan melambung tinggi. Cara mengatasinya? Tentu dengan obat itu.

Sialnya, sekarang dia tidak memilik obat itu, dan hanya ada dirinya sendiri disini. Dia tidak tahu kenapa dengan dirinya yang sangat sulit menguasai dirinya sendiri. Dan saat dia melihat sebuah benda tajam, dia mengambil benda tersebut. Sejurus kemudian, benda itu sudah menyentuh kulitnya. Meninggalkan rasa sakit yang membuatnya meraung. Dan dia menganggap itu sebagai penyaluran emosinya.

"Setelah ini, kamu akan selalu terluka saat emosi dan nggak ada yang menenangkan dirimu. Good dear, nggak sia-sia aku melatihmu bertahun-tahun."

Ucapan wanita itu terdengar jelas, bahkan masih ia ingat jelas hingga sekarang. Dia tahu arti ucapan itu, karena saat itu dia sudah menginjak usia 16 tahun. Dimana otaknya sudah bisa menalar.

Walau begitu, kejadian itu tetap saja terulang. Ingin sekali dia mengendalikan emosinya, seperti saat dia trauma pada saat itu. Saat itu ada kakak-kakaknya, mereka bisa membuat dia tenang kembali. Tidak terlarut pada emosi. Tapi semalam, dia hanya sendiri. Menyalurkan rasa sedihnya dengan menyakiti dirinya sendiri. Karena dengan begitu, dia bisa menangis dengan puas.

"Kenapa kamu melakukan itu pada gadis ini?"

"Agar saat dia kembali pada keluarganya, keluarganya tidak akan menerima dia. Memang keluarga mana yang akan menerima gadis gila seperti dia?"

New Life (#1 Wiratama's) [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang