Jika dulu hari libur selalu ditunggu maka berbeda dengan libur kali ini. Akhir pekan menjadi sangat membosankan bagi generasi muda Wiratama. Bagaimana tidak? Mereka diwajibkan ada dirumah oleh Bunda mereka. Tetapi tidak ada kegiatan berarti yang harus mereka lakukan. Hanya ada para pria di ruangan besar ini karena Farah tengah sibuk bereksperimen di dapur. Entah masakan apa yang akan di sajikan oleh sang Bunda nantinya.
Gifri beserta dua putranya -Galih dan Reza- tengah sibuk bermain kartu. Sisanya tengah bermain PS sekarang. Tidak ada kehebohan seperti saat ada Gava. Anak beranjak dewasa itu biasanya akan heboh walaupun hanya menonton para saudaranya bermain. Dulu saja ketika kedua ayah mereka tengah bermain catur, Gava menjadi penonton tak dibayar namun sangat heboh. Tertawa keras ketika melihat pion salah satu dari pemain di makan. Padahal menurut yang lain itu tidak lucu, tapi berbeda bagi anak itu.
Mereka merindukan sosok Gava? Sudah jelas. Anak petakilan yang selalu mencoba mencairkan suasana rumah sebelum kembalinya adik perempuan mereka. Yang terus menetap dirumah agar mendampingi kedua ibunya. Jika kebanyakan remaja lain akan menghabiskan banyak waktu mereka bersama teman-temannya, maka berbeda dengan Gava. Walau terkadang anak itu akan keluar hanya untuk sekedar nongkrong bersama teman-temannya tapi itu tidak sering. Waktunya lebih sering dihabiskan dirumah.
Diantara putra-putra Wiratama, Gava lah yang paling penurut. Baru setelahnya ada Galih. Mungkin jika orang luar melihat, sosok Galih paling penurut. Namun faktanya tidak. Lelaki yang kini bermarga Sanjaya akan menolak ketika diajak kedua ibunya untuk belanja apalagi menemani ke salon. Dia pasti selalu beralasan entah banyak pekerjaan atau yang lain. Jika Galih saja begitu bagaimana yang lain bukan? Reza jangan ditanya, diminta datang ke pesta saja putra sulung Alina itu menolak. Gibran? Sejak masuk SMA dia sudah memisahkan diri. Memilih menjadi anak kos ketimbang dirumah. Tidak lama kemudian Gifri membelikan apartemen untuk putranya itu karena paksaan dari sang istri. Regan? Tidak jauh berbeda dari Gibran. Pernah sekali dia menemani ibunya arisan, setelah itu dia kapok dan tidak mau lagi jika dibawa-bawa oleh kedua ibunya.
Sebenarnya Gava pun ingin menolak sama seperti para saudaranya. Memilih tinggal terpisah ketimbang dirumah besar tetapi terasa begitu sepi. Sesekali melihat ibunya menangis. Tapi jika dia melakukan itu sama saja dia menambah rasa sakit pada kedua ibunya bukan? Makanya dia tetap berada dirumah. Merecoki kedua ibunya agar rumah tidak sepi. Mau-mau saja diajak berkeliling mall menemani kedua ibunya. Menunggu berjam-jam ketika kedua ibunya sudah memasuki salon. Itung-itung belajar jadi suami idaman nantinya. Begitulah pemikirannya. Pemikiran anak remaja.
"Ga asik!" dengan sembarang Regan melempar stik PS-nya. Tidak peduli jika nanti akan rusak.
"Jam segini adek belum bangun ya?" gumam Gibran seraya melihat jam dipergelangan tangannya. Selisih waktu membuatnya tidak bisa sewaktu-waktu menghubungi adiknya.
"Adek lo nih nyet!"
"Paan?"
"Gebet bule, ckck! Tinggi juga seleranya."
Gibran berdecak mendengar penuturan tidak penting Regan. Memang kenapa jika Gava menggaet bule disana? Gava bukan anak kecil lagi yang harus dibatasi ini-itu. Wajar jika dia sudah mulai mengencani perempuan. Sejujurnya dia merasa bersalah pada adiknya itu. Walaupun mereka terlihat tidak begitu akur, tapi mereka tetap saling menyayangi layaknya saudara. Dulu ketika dia menyuarakan pendapatnya untuk mengambil jurusan arsitektur, kedua orangtuanya menentang. Terjadi keributan besar sampai Gibran tidak mau pulang kerumah besar hingga satu bulan. Gava yang saat itu masih berada di sekolah menengah pertama menemuinya. Memberikan dukungan dan menyakinkan dirinya agar pulang. Ternyata adiknya itu sudah membujuk Bunda juga Kakak mereka. Mengatakan jika nanti saudaranya yang lain yang akan mengurus bisnis keluarga mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
New Life (#1 Wiratama's) [End]
General FictionWiratama Series 1. New Life 2. Nona Mantan 3. New Feeling Hidup tanpa tahu dunia membuatnya seperti mayat hidup. Bukan fisiknya yang terlihat mengenaskan, tetapi psikisnya. Seperti dongeng cerita seorang puteri yang dikurung dalam menara tinggi, beg...