Semua keluarga Wiratama -minus Revika- kini tengah berkumpul di ruang keluarga. Mereka semua diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Ada Alina dan Farah yang tengah menangis di depakan suami mereka. Ibu mana yang tidak merasa sakit hati melihat kondisi putrinya? Setelah mendengar cerita anak-anaknya, mereka segera pergi ke kamar putri mereka -karena Gava mengatakan Revika masuk kedalam kamar- untuk melihat kondisi putri mereka. Tetapi pintu kamar yang terkunci membuat keduanya tidak bisa masuk. Ketika dia mengetuk pintu, mencoba berbicara baik-baik pada putri mereka, hanya suara teriakan Revika yang meminta mereka pergi yang terdengar.
"Pah..." panggil Alina pelan. Usapan di bahunya masih terasa, tapi dia belum juga merasa tenang. Sebelum ia bisa memeluk putrinya, maka rasa tenang itu belum juga datang.
"Ssttt, kita pikirin dulu cara buat ketemu Vika ya?" ucap Rian lembut. Sama seperti istrinya ia pun belum merasa tenang. Tapi jika ia tidak berpikir jernih sekarang, masalah akan semakin runyam.
"Gimana kalau Vika nyakitin dirinya sendiri Pah?" lirih Alina. Membayangkannya saja dia tidak ingin, apalagi melihat jika putrinya benar melakukan hal itu.
"Enggak. Vika pasti baik-baik aja." Ya, kata itu seharusnya ia percayai. Jika putrinya akan baik-baik saja. Walaupun dia sendiri masih bimbang.
"Sebenarnya ada apa dengan adik kalian?" tanya Farah gusar. Hilang sudah pertahanannya yang selalu tenang dalam keadaan apapun. Jika sudah menyangkut anak-anaknya, maka ketenangannya selalu lenyap. Apalagi ini menyangkut putrinya.
"Kita nggak tahu." lirih Gibran. Mewakili semua saudaranya yang hanya diam. "Bunda jangan sedih, kita bujuk Vika pas dia udah tenang ya?" tangannya mengusap lembut bahu ibunya. Dia memang duduk disebelah kedua orangtuanya. Ikut menenangkan sang Bunda.
Satu hal yang belum mereka semua katakan pada orangtua mereka. Tentang bagaimana Revika bisa lost control seperti itu. Karena mereka tidak ingin membuat orangtua mereka apalagi kedua ibu mereka lebih khawatir. Dugaan mereka tentang Revika pernah diperkosa semakin kuat karena adik mereka yang tidak ingin bertemu pria manapun. Bahkan ketika mendengar suara Rian -ayahnya sendiei- suara jeritan histeris Revika terdengar begitu nyaring.
"Wanita itu... Kenapa nggak kita lenyapkan saja Pah?" tanya Reza membuka suara. Banyak sekali pemikiran yang berseteru di kepalanya. Tapi yang ingin dia lakukan sekarang adalah menyalurkan emosinya.
Alina bisa merasakan tubuh suaminya yang menegang. Perlahan dia menarik dirinya dari dekapan sang suami. Mengabaikan tatapan Rian, dia beranjak dari sana. Topik wanita itu, adalah topik yang paling ia benci. Apalagi menyadari respon dari suaminya.
"Mah?" panggil Regan. Rasa bingung menerpanya melihat kepergian ibunya. Masih banyak teka teki di keluarganya yang tidak ia ketahui. Atau bahkan semua saudaranya tidak ketahui.
"Nggak seharusnya kita bahas ini." Rian beranjak dari duduknya. Baru kakinya melangkah untuk menyusul istrinya, ucapan adiknya membuat dia berhenti.
"Bereskan masalalumu Kak, bukan hanya Kakak ipar, putrimu juga merasakan sakitnya. Seharusnya Kakak tegas dari dulu." ucap Gifri yang tidak mendapat respon apapun dari kakaknya. Rian pergi begitu saja tanpa mengatakan apapun. Menimbulkan banyak pertanyaan dikepala anak-anaknya.
🍁🍁🍁🍁
Tubuh Revika bergetar merasakan sakit disekujur tubuhnya. Melukai diri sendiri demi menyalurkan emosinya. Beruntung dia mendapatkan obatnya. Tidak tanggung-tanggung, dia meminum obatnya lima butir sekaligus demi menghilangkan segala emosi yang tercampur dalam dirinya.
"Mamah..." lirihnya pelan. Ia membutuhkan ibunya. Bukan wanita yang mengaku-ngaku sebagai ibunya, tetapi wanita yang sudah melahirkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
New Life (#1 Wiratama's) [End]
General FictionWiratama Series 1. New Life 2. Nona Mantan 3. New Feeling Hidup tanpa tahu dunia membuatnya seperti mayat hidup. Bukan fisiknya yang terlihat mengenaskan, tetapi psikisnya. Seperti dongeng cerita seorang puteri yang dikurung dalam menara tinggi, beg...