Rumah besar dua lantai yang berada di kawasan elit menjadi rumah mereka sekarang. Walaupun tidak seluas rumah mereka sebelumnya, namun tetap terasa nyaman. Apalagi mereka semua lengkap. Walaupun tidak ada canda tawa seperti biasanya. Entah itu karena efek mengantuk atau memang mereka tidak ingin membuka mulut.
"Kamu siapin ini?" tanya Alivia setelah duduk nyaman di sofa. Ditatapnya sang sulung yang enggan menatapnya. Terus menunduk menyadari jika kesalahannya banyak. "Kamu sudah tahu ini akan terjadi?" lagi ia bertanya walaupun putranya masih saja bungkam.
Desahan nafas terdengar dari Alivia. "Mamah pulang siang nanti sama Papah. Jika kalian mau, tinggal saja bersama kami."
"Siang nanti? Apa nggak terlalu cepet Mah?" tanya Gifri.
"Lebih cepat lebih baik." wanita yang sudah menjadi nenek itu kembali menghela nafas. "Tunjukkan dimana kami tidur. Tubuhku sudah lelah." ujarnya kemudian beranjak.
"Pilih saja kamar yang Mamah ingin."
Mengangguk paham, Alivia beserta Rahendra berlalu. Sejak kejadian itu, Rahendra terus saja bungkam. Setelah melihat putranya bersama pun ia masih tetap diam. Percayalah diamnya Rahendra sudah menjadi ketakutan tersendiri bagi Rian. Sejak memutuskan untuk terus bungkam, ia memang sudah bersiap menerima semua konsekuensi yang ada. Termasuk murka ayahnya.
"Papah tahu rencana Helena." ucapan tiba-tiba Reza menarik atensi semua orang. Gava yang sudah mencium bau-bau pertengkaran segera mengajak adiknya ke kamar. Walaupun ia harus memaksa terlebih dahulu karena awalnya Revika menolak. Mengatakan tetap ingin berada disini. "Papah terus ditekan sama wanita itu tapi Papah cuma diam. Papah anggap kita keluarga?" lanjut Reza. Tajam dan dingin. Membungkam Rian.
Mengambil benda yang selama ini menjadi senjata Helena, Reza beranjak dari duduknya. "Selesaikan masalah Papah." sulung Wiratama itu berjalan pergi dari ruang tamu rumah baru mereka. Sebelumnya ia menghampiri ibunya terlebih dahulu, berhenti dibelakang sofa tempat ibunya duduk. Mengecup pipi ibunya sayang. "Reza sayang Mamah." bisiknya pelan.
Tak lama kemudian Regan ikut beranjak. Melakukan hal yang sama seperti kakaknya. Kemudian berlalu menyusul sang kakak. Ia tahu jika kakaknya akan menonton video yang selama ini menjadi senjata wanita sialan itu. Bukan hanya dirinya, ketiga saudaranya pun ikut menyusul. Menyisakan para orangtua yang masih tercenung.
"Alina?"
Alih-alih menyahut, Alina beranjak pergi tanpa berkata apapun. Helaan nafas lelah terdengar dari Rian. Guratan lelah diwajahnya tergambar jelas.
"Benar kata Reza, selesaikan masalahmu Kak." ucapan Gifri benar. Kepala Rian terangkat menatap adiknya. Dibalas anggukan oleh adiknya yang kemudian berlalu bersama sang istri. Melihat bagaimana harmonisnya sepasang suami istri itu, kenapa ia tidak bisa? Ya, dia harus menyelesaikan masalahnya.
"Alina?" panggil Rian setelah membuka pintu kamar. Kamar dekat tangga yang dimasuki oleh istrinya tadi. "Mau mendengarkanku?" pertanyaan tidak berguna memang. Karena ia pun tahu istrinya pasti sudah begitu muak dengannya.
Sama seperti sebelumnya, Alina tidak menyahut sama sekali lalu menghilang dibalik pintu kamar mandi. Lagi-lagi Rian menghela nafas. Pria itu berjalan menuju ranjang. Duduk dibibir ranjang dengan kedua tangan bertumpu pada kedua lututnya. Kepalanya tertunduk menatap lantai kamar barunya bersama sang istri.
Tidak ada pergerakan apapun dari Rian. Sampai suara pintu terbuka membuat kepalanya terangkat. Ditatapnya wanita yang selama ini menemani hidupnya. Memberinya tiga malaikat yang sangat berarti dalam hidupnya.
"Maafkan aku."
Terdengar helaan nafas dari Alina. Wanita yang masih memakai pakaian yang sama -akibat tidak membawa sehelai pakaian pun- berjalan menghampiri suaminya. Bolehkah ia bersikap egois?
KAMU SEDANG MEMBACA
New Life (#1 Wiratama's) [End]
General FictionWiratama Series 1. New Life 2. Nona Mantan 3. New Feeling Hidup tanpa tahu dunia membuatnya seperti mayat hidup. Bukan fisiknya yang terlihat mengenaskan, tetapi psikisnya. Seperti dongeng cerita seorang puteri yang dikurung dalam menara tinggi, beg...