Aku penuhi janji di part sebelumnya ya! Karena di part sebelumnya vote udah lebih dari 200 jadi aku up sekarang. Baru dua hari jaraknya loh. Ganyangka akutuh.
Makasih buat kalian yg selalu kasih aku bintang juga semangat. Ga nyangka udah 2k aja votenya. Jadi sayang wkwk
Yaudah langsung baca aja, maaf kalau tidak sesuai keinginan kalian. Karena cerita ini emang gaje kek yg buat wkwk. Happy Reading!
🍁🍁🍁🍁
Setelah seminggu dirawat, akhirnya Revika kembali kerumah dalam keadaan lebih baik. Sebenarnya dia diperbolehkan pulang sejak tiga hari yang lalu, hanya saja keluarganya melarang. Mereka memanggil psikiater terlebih dahulu untuk memastikan mental dari bungsu Wiratama. Mereka tidak mau ambil resiko sampai trauma Revika kambuh saat tiba dirumah.
Tadinya mereka ingin ingatan tentang kejadian naas itu dihilangkan saja. Tetapi akan sulit karena saat Revika kembali, kemudian melihat tempat dimana dia tenggelam, maka ingatannya akan kembali dengan cepat. Hal itu bisa berefek fatal, oleh karena itu Ayunda, psikiater yang menangani Revika menyarankan agar ingatan Revika tidak dihapus. Begitupun dengan ingatan dimana dia pernah diculik bertahun-tahun lamanya.
"Sayang..." Alina memeluk tubuh kurus putrinya. Mendekap sang putri yang juga balas memeluknya. Tanpa diminta air matanya tumpah, apalagi mengingat kejadian dimana putrinya tenggelam. Betapa bersyukurnya dia bisa kembali melihat putrinya sehat kembali.
"Mamah jangan nangis." ucap Revika setelah pelukan keduanya terurai. Tangannya mengusap pipi ibunya lembut, menghilangkan jejak air mata disana.
"Mamah nangis bahagia, bukan sedih. Jadi nggak pa-pa." balas Alina tersenyum hangat.
"Mamah bahagia kenapa?"
"Karana kamu sudah pulang. Mamah kangen sama kamu, emangnya kamu nggak kangen sama Mamah?"
Kepala Revika mengangguk mendengar pertanyaan dari ibunya. Tentu saja dia rindu pada sang ibu. Beberapa kali dia bertanya pada keluarganya yang lain kenapa Mamahnya hanya datang sekali. Itupun saat dia tidur. Mereka menjawab kalau Mamahnya ini sakit. Dia sendiri pun khawatir dengan keadaan sang ibu. Makanya dia tidak memaksa untuk bertemu ibunya.
"Katanya Mamah sakit, udah sembuh?" tanya Revika seraya berjalan bersama sang ibu menuju sofa. Semua keluarganya sudah duduk disana.
"Mana mungkin Mamah sakit kalau udah lihat putri Mamah lagi?"
"Jadi Mamah sakit gara-gara Vika?" tanya Revika karena itulah yang dia tangkap dari ucapan ibunya.
"Bukan gitu sayang... Mamah sakit karena emang udah takdirnya. Mana mungkin kamu bikin Mamah sakit kalau kamu itu obat buat Mamah?"
Mendengar itu Revika memeluk ibunya dari samping. Jujur saja dia sangat rindu pelukan hangat ibunya. Dari semua keluarganya, pelukan ibunya yang paling hangat baginya. Paling bisa membuatnya nyaman. "Jangan sakit lagi," ujarnya pelan.
"Bun, Gava juga obat buat Bunda nggak?" tanya Gava memecahkan suasana haru.
"Obat apa? Yang ada kamu yang buat Bunda pusing." jawab Farah ketus.
"Jadi anak baik dulu, biar jadi obat buat Bunda. Kayak Regan ya Bun?" sahut Regan.
"Apalagi kamu! Selalu bikin Bunda naik darah."
Gava tertawa mengejek pada kakaknya itu. Sok-sok-an menasehatinya padahal kakaknya itu lebih parah darinya. Bisa dibilang kalau Gava ini anak baik-baik. Dia selalu mendapat prestasi di sekolah. Tidak berbuat macam-macam sampai harus langganan BK. Mainpun dia selalu ijin. Pernah dia hampir terjerumus pergaulan sesat, tetapi dia memikirkan kembali keluarganya. Dulu, sebelum adiknya kembali, keluarganya hancur. Mereka hidup terpisah tanpa memikirkan perasaan orangtua mereka. Makanya Gava selalu tinggal dirumah apapun yang terjadi. Dia tidak mau menambah beban pada orangtuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
New Life (#1 Wiratama's) [End]
General FictionWiratama Series 1. New Life 2. Nona Mantan 3. New Feeling Hidup tanpa tahu dunia membuatnya seperti mayat hidup. Bukan fisiknya yang terlihat mengenaskan, tetapi psikisnya. Seperti dongeng cerita seorang puteri yang dikurung dalam menara tinggi, beg...