Tangan Regan senantiasa menggenggam tangan adiknya. Menyalurkan rasa hangat pada gadis yang masih menutup mata. Sudah hampir satu jam dia duduk disamping adiknya. Sedangkan Bundanya pulang untuk melihat keadaan Mamah Alina. Untuk keluarganya yang lain dia tidak tahu sudah diberitahu apa belum. Tapi sepertinya belum karena mereka belum datang sampai sekarang. Dia yakin jika saudara-saudaranya akan langsung kesini ketika mendengar jika adik mereka masuk ke rumah sakit.
Tatapan lelaki itu tak pernah lepas dari wajah adiknya yang pucat. Rasa khawatir masih menguasai dirinya. Meski keadaan adiknya sudah membaik, tinggal menunggu sadar saja, tapi bagaimana jika saat sadar nanti adiknya sampai trauma? Pasti tadi adiknya merasa sangat ketakutan. Bodohnya dia tidak bisa menjaga adiknya.
Brak!
Regan terpelonjak kaget mendengar suara pintu yang dibuka kasar. Sebelum melihat siapa pelakunya, dia lebih dulu melihat adiknya. Mungkin saja adiknya terbangun karena hal tadi. Tapi ternyata tidak. Mata yang selalu berbinar dan menatap ingin tahu pada sekitarnya kini masih setia terpejam.
"Gimana keadaan Angel?" tanya Gibran yang sudah berdiri disisi lain ranjang Revika. Sangat terlihat jika lelaki itu khawatir. Peluh membanjiri wajahnya, bisa ditebak jika Gibran berlari kesini. Mungkin saja karena lift penuh dia mengambil tangga darurat. Itu bisa saja kan?
"Udah baikan, tinggal nunggu Adek sadar." jawab Regan kembali menatap wajah adiknya.
"Gim-"
Brak!
Lagi-lagi Regan terpelonjak kaget karena suara pintu yang dibuka kasar. Tidak hanya dirinya, Gibran pun merasa hal yang sama. Keduanya sama-sama menoleh pada sang pelaku. Ternyata dua kakak tertua mereka. Wajah mereka sama menunjukan kekhawatiran.
"Adek gimana?" tanya Reza yang sudah berdiri di samping Gibran. Sedangkan Galih ada disamping Regan.
"Udah baikan, tinggal nunggu Adek sadar." jawab Regan sama seperti saat menjawab Gibran tadi.
"Gimana bisa gini?" tanya Gibran menyuarakan pertanyaannya yang tertunda akibat kedatangan kedua kakaknya.
"Gue nggak tahu jelasnya." jawab Regan. Sedangkan kedua kakaknya hanya diam. Mereka pun sama tidak tahunya masalah ini.
"Kita lihat dari rekaman cctv." ujar Galih setelah melihat ponselnya.
Keempat pria itu berkumpul dengan Galih dan Reza duduk di sofa sedangkan kedua adik mereka duduk di lantai. Ponsel Galih di pegang oleh Gibran agar mereka dapat melihat rekaman di ponsel Galih dengan jelas.
Mereka melihatnya. Melihat betapa senangnya adik mereka saat bermain air. Mereka merasa miris melihat hal tersebut, adik mereka terlalu kesepian di rumah besar keluarga Wiratama. Tidak ada yang menemani adik kecil mereka saat pagi hingga menjelang sore. Ibu mereka pun sering sibuk dengan urusan mereka. Karena kedua wanita itu juga seorang pembisnis. Meski akhir-akhir mereka lebih sering ada dirumah.
Nafas mereka tercekat saat melihat tubuh mungil adik mereka jatuh kedalam kolam renang. Melihat bagaimana kesulitan adik mereka untuk keluar dari dalam air. Rasa sesak menyelubungi dada mereka. Seharusnya mereka bisa menjaga adik mereka. Lalu apa bedanya mereka dengan penjahat yang menculik adik mereka dulu? Mereka juga melukai gadis polos itu.
Cklek!
Suara pintu terbuka membuyarkan fokus mereka. Keempatnya sama-sama melihat kearah pintu, dimana menampakan sosok adik lelaki bungsu mereka. Remaja menjelang dewasa yang mengenakan seragam sekolah acak-acakan.
"Vika!" seru Gava saat melihat adiknya. Sama sekali dia tidak mempedulikan keempat kakaknya. Jantungnya seakan berhenti berdetak saat bundanya mengatakan jika adiknya ini ada dirumah sakit. Berbagai pemikiran buruk melintas di kepalanya. Tanpa mendengar penjelasan lebih lanjut dari sang bunda, dia sudah terlebih dahulu pergi setelah mencium tangan bundanya. Dia benar-benar khawatir pada adiknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
New Life (#1 Wiratama's) [End]
General FictionWiratama Series 1. New Life 2. Nona Mantan 3. New Feeling Hidup tanpa tahu dunia membuatnya seperti mayat hidup. Bukan fisiknya yang terlihat mengenaskan, tetapi psikisnya. Seperti dongeng cerita seorang puteri yang dikurung dalam menara tinggi, beg...