New Life || 28. Obat

22K 1.5K 37
                                    

Mendengarkan orang yang tengah menerangkan sesuatu ternyata cukup membuat bosan. Apalagi saat kita tidak berminat dengan topik tersebut. Itulah yang tengah dirasakan oleh Revika saat ini. Dengan tangan menopang kepala, dia berusaha agar matanya tidak terpejam. Masalahnya ia hanya sendiri bersama sang guru privat, sampai tidur kan langsung ketahuan. Apa hanya dia yang merasakan hal ini? Apa mereka yang sekolah di sekolah umum juga merasakan hal yang sama?

Otaknya bukanlah pecinta eksak, makanya wajar jika menolak ketika disuruh menyerap banyak rumus. Jangankan menyerap, memahaminya saja sulit. Pelajaran kesukaannya adalah bahasa. Jika bisa, lebih baik dia mempelajari berbagai bahasa yang ada di dunia ini ketimbang menghitung angka-angka itu. Kalau kata guru privatnya, materi ini adalah materi anak SD. Tapi dia tidak minat sama sekali, sungguh membosankan!

"Paham Vika?" tanya wanita tersebut setelah menerangkan panjang kali lebar.

Kepala Revika menggeleng cepat. Jawaban begitu jujur memang. Lagipula berbohong itu tidak baik. Jika dia bilang paham, bisa jadi nanti dia disuruh untuk mengerjakan soal. Bagaimana dia akan mengerjakan soal jika materi saja tidak ada yang paham? Makanya lebih baik dia jujur.

"Ini udah yang ketiga kali saya menerangkannya loh Vika..." ada penekanan diakhir kalimat. Revika paham itu, wanita ini marah. Apa karena dia tidak kunjung paham?

"Saya nggak paham." jawab Revika tenang. Masih pada posisinya seraya menatap gurunya dengan tatapan polos.

Wanita dewasa bernama Sania itu menghela nafas kasar. Memang orang mana yang tidak akan kesal jika sudah menerangkan sebuah materi sebanyak tiga kali tapi tidak kunjung dapat dipahami. Ini dia yang kurang jelas atau memang muridnya saja yang terlalu bodoh? Mungkin opsi yang kedua lebih tepat. Karena selama dia mengajar, selalu cepat dipahami oleh muridnya. Makanya dia masuk kedalam guru favorit.

"Saya terangkan satu kali lagi setelah itu kamu mengerjakan soal." putus Sania tegas. Kemudian dia kembali menerangkan hal yang sama.

Benar saja, Revika harus mengerjakan soal padahal dia belum paham. Ketika dia mengatakan jika tidak bisa, guru privatnya malah terlihat acuh. Decakan lolos dari mulutnya, dengan malas dia mulai mengoret-oret bukunya.

Setengah jam kemudian, Revika masih berkutat dengan bukunya seraya memegangi kepalanya. Entah apa saja yang dia tuliskan disana. Nyatanya dia memang benar-benar tidak bisa. Tapi wanita yang menjadi gurunya terus saja menatapnya dengan tatapan tajam membuat dia harus terus berkutat dengan buku.

Bukannya dia tidak mau belajar matematika, tapi karena memang dia tidak bisa. Dia tidak suka menghitung. Hanya matematika dasar saja yang mampu dia kuasai. Selebihnya dia tidak bisa sama sekali. Walaupun materi anak SD sekalipun. Toh dia pun tidak pernah bersekolah selama ini, jadi wajar jika dia tidak bisa materi yang orang-orang sebut mudah.

"Sudah Vika?" tanya Sania seraya berjalan mendekat pada anak didiknya. Sembari menunggu, dia tadi duduk di sofa.

Tidak menjawab, Revika hanya memberikan bukunya pada sang guru. "Saya nggak bisa." ujarnya.

Dilihatnya kening gurunya berkerut melihat isi jawabannya. Dia rasa itu adalah pertanda buruk. Karena biasanya jika dia tidak bisa mengerjakan soal, ekspresi gurunya akan seperti ini.

"Sebenarnya umur kamu berapa sih?" tanya Sania menahan kesal.

"16 tahun." jawab Revika dengan kalemnya.

"Lalu kenapa kamu sebodoh ini? Sebenarnya kamu itu keturunan Wiratama bukan sih? Memangnya ada anak Wiratama yang sebodoh kamu?" cerca Sania mengeluarkan unek-uneknya. "Seharusnya kamu sekarang sudah SMA. Walaupun kamu tidak sekolah pun harusnya kamu bisa memahami materi dengan baik. Saya sudah menerangkan ini sebanyak empat kali dan kamu masih salah? Jawaban macam apa ini? Padahal ini hanya soal anak SD!"

New Life (#1 Wiratama's) [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang