Makan malam di kediaman keluarga Suryo terlihat sepi seperti biasanya. Hanya suara dentingan sendok dan garpu yang mewarnai makan malam mereka.Ali dengan telaten menyuapkan makanannya kedalam mulut lalu mengunyah pelan cara makannya benar-benar menunjukkan siapa dia sebenarnya.
Ali menekuni piringnya dengan cara yang begitu elegan memperlihatkan kalau dia berasal dari kalangan atas sampai cara memegang dan menyuapkan nasi ke dalam mulutpun harus memiliki tata krama.
Mengunyah jangan sampai terdengar apalagi jika sendok dan piring beradu hingga menimbulkan bunyi dentingan yang tidak semesti bisa membuat pamor dikalangan atas seperti mereka merosot turun.
Entahlah. Mungkin memang mereka selalu menunjukkan kesempurnaan dalam bentuk apapun.
Ali meletakkan sendok dan garpunya dengan sopan lalu mengelap mulutnya sebelum meneguk segelas air putih yang memang sudah disediakan diatas meja. Semua dilakukan secara sopan dan elegan.
"Setelah ini tolong keruangan Papa ada yang ingin Papa bicarakan padamu dan Mama kamu."Perintah Aji tanpa menatap putra atau istrinya.
Ali melirik sekilas kearah Mamanya. Merasa diperhatikan oleh putranya akhirnya Winda menoleh lalu menganggukkan kepalanya.
"Baik Pa. Ali tunggu Papa diruangan Papa."jawab Ali sebelum beranjak dari sana.
Aji dan Winda masih melanjutkan makan malam mereka. "Apa Mas sudah yakin untuk memberitahu Ali sekarang?"Tanya Winda sarat akan kecemasan bahkan dia sudah tidak bernafsu lagi menghabiskan nasi didalam piringnya.
Aji tak langsung menjawab pertanyaan istrinya, dia memilih menghabiskan nasi didalam piringnya hingga tandas lalu meneguk segelas air putih. Sambil mengelap mulutnya Aji menoleh lalu menatap istrinya. "Jika tidak sekarang mungkin aku tidak memiliki waktu lagi Winda."
Winda menggenggam tangan suaminya. "Mas jangan putus asa seperti ini. Aku yakin penyakit Mas bisa disembuhkan."Ujar Winda memberi semangat pada suaminya.
Aji tersenyum kecut sambil menghela nafasnya. "Jangan terlalu berharap Winda aku takut kenyataan yang akan kita terima tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Jadi sanggup tidaknya kita tetap harus memikirkan kemungkinan buruk yang akan terjadi padaku."Aji meremas pelan tangan istrinya.
Winda sudah menundukkan kepalanya dia tidak tega memperlihatkan tangisnya pada sang suami yang sudah sangat menderita dengan penyakit yang divonis Dokter padanya.
"Jangan menangis Winda. Aku mohon, aku benar-benar merasa buruk sebagai seorang suami dari dulu rasanya cuma penderitaan yang kuberikan padamu. Maafkan aku."Aji mengusap lembut kepala istrinya.
Winda mendongak menatap suaminya dengan bersimbah air mata dia tidak perduli dengan reaksi suaminya yang melihatnya menangis. "Jangan berbicara seperti itu Mas. Aku tidak suka bukankah kita sudah sepakat untuk menutupi masalalu lalu memulai semuanya dari awal. Aku tidak suka Mas berbicara seperti itu."
Aji tersenyum lembut pada istrinya, "Dan kita harus memulai semuanya dari memberitahukan putra kita tentang masalah ini semua Sayang. Kamu siap bukan?"Tanya Aji dengan mata menatap teduh pada istrinya.
Melihat tatapan suaminya mau tidak mau Winda menganggukkan kepalanya. "Iya Mas. Ali harus tahu semuanya."
**
Di kediaman keluarga lain terlihat seorang gadis bertubuh mungil barusaja menyelesaikan masakannya. Dengan penuh keringat dia menghidangkan makanan yang sudah di masak keatas meja kecil yang sudah menjadi meja makan mereka sejak tinggal disini.
Prilly menyewa rumah ini untuk tempat tinggalnya bersama sang Ibu. Dia belum mampu untuk membeli rumah ini jadi untuk sementara dia hanya mampu menyewa dulu mungkin nanti setelah melunasi semua hutang almarhum Ayahnya dia akan memikirkan untuk membeli rumah ini atau rumah yang sedikit lebih luas dari ini.
"Ibu.. Ibu.. Nasinya udah masak ini makan malam yok Buk!"Prilly mengajak sang Ibu untuk makan bersama.
Karena luas rumahnya yang tidak seberapa membuat Prilly tidak perlu berteriak untuk memanggil Ibunya toh kamar Ibunya dan dapur bersebelahan sedangkan kamar Prilly bersebelahan dengan ruang tamu.
Rumah yang mereka tempati memang sangat mungil namun baik Prilly maupun Ibunya sama-sama sudah nyaman dan merasa cocok dengan suasana rumah ini lagian sewa bulanan rumah ini juga sedikit lebih murah dari komplek di depan sana dekat jalan raya.
Tak berapa lama Maryam -Ibu Prilly- keluar dari kamarnya. "Kamu sudah makan Nak?"Tanyanya pada Prilly.
Prilly yang sedang mengambil gelas menoleh lalu tersenyum pada Ibunya."Belum Buk. Kita makan sama-sama ya Buk."sahut Prilly sambil membawa gelas yang sudah berisi air untuknya dan sang Ibu.
Maryam menganggukkan kepalanya tersenyum lembut pada putri semata wayangnya. "Maafin Ibu karena Ibu kamu harus bersusah payah seperti ini Nak."
Prilly menarik kursi lalu menyentuh pelan tangan Ibunya. "Jangan berbicara seperti itu Buk. Aku nggak akan pernah mengeluh tentang kesulitan kita asal Ibu selalu sehat dan bersedia mendukung setiap langkahku mencari rejeki untuk kita dan juga menutup hutang Ayah."Prilly melebarkan senyumnya melihat senyum sang Ibu.
"Tentu Nak. Ibu selalu mendukung dan mendoakan kamu. Ayah pasti melakukan hal yang sama dari sana. Ibu yakin Ayah pasti bahagia dan sangat bangga padamu Nak."Maryam menadahkan kepalanya sebentar sebelum menatap putrinya kembali.
"Amiin. Semoga Ayah bisa tersenyum seperti kita ya Buk. Ayah harus tenang karena aku berjanji akan melunasi semua hutang Ayah dan menjaga Ibu supaya Ayah tenang disisi Tuhan."sambung Prilly dengan mata berkaca-kaca.
Dilain tempat yang berada jauh dari rumah Prilly, terlihat seorang pria tampan yang duduk tegang di hadapan kedua orang tuanya. "Jadi apa yang ingin Papa bicarakan?"
Aji menatap istrinya sebentar sebelum memfokuskan diri pada sang putra. "Papa akan mewariskan setengah dari saham Suryo Group untuk anak dari sahabat Papa."
Ali sontak terkejut bahkan tanpa sadar dia langsung berdiri dan menatap tak percaya Papanya. "Maksud Papa apa sih? Pah Suryo Group itu milik kita dan yang berhak mewarisi itu semua Ali bukan orang lain apalagi anak dari teman Papa itu!"Ali mengusap wajahnya dengan kasar.
"Duduk dulu Nak. Dengarkan apa yang Papa katakan dulu."Winda berusaha menenangkan putranya.
Ali mendengus pelan namun tetap menuruti perintah Ibunya. "Kesalahan Papa di masalalu tidak akan sebanding meskipun Papa menyerahkan hidup Papa untuk putri teman Papa."Aji menatap sendu pot bunga kecil yang berada diatas meja diruang kerjanya.
Ali mengernyit bingung dia sama sekali tidak mengerti arah pembicaraan Papanya. "Ini sebenarnya ada apa sih Pa? Ma? Katakan dengan jelas, Ali benar-benar tidak mengerti."
Winda menyusut air matanya mengusap lembut lengan suami sebelum menatap putranya. "Dimasa lalu Papa dan Mama melakukan kesalahan besar hingga membuat hidup orang lain menderita. Kamu anak kami hidup dengan mewah bergelimang harta tapi dia yang menjadi korban keserakahan kami harus menderita bahkan sampai kehilangan Ayahnya."Winda tidak dapat melanjutkan ceritanya karena tubuhnya sudah bergetar berikutnya hanya isak tangisnya yang terdengar.
Kedua orang tuanya saling memeluk dan memberi dukungan satu sama lain mengabaikan Ali yang masih belum memahami situasi ini.
*****