Pukul 5 pagi Prilly sudah terbangun setelah menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim, Prilly memilih membersihkan kamar inap Ibunya sebelum beranjak menuju kantin untuk mencari sarapan untuk dirinya.Prilly sudah tidak terlalu memikirkan perihal hubungannya dengan Ali yang ditentang oleh Ibunya. Tidak bukan karena dirinya menyerah hanya saja pagi ini Prilly merasakan tubuhnya sedikit tidak sehat.
"Kamu mau kemana?"
Sejak perdebatan mereka semalam sikap Ibunya sedikit berubah, tidak ada lagi tutur sapa lembut khas Ibunya kini Ibunya bak menjelma menjadi orang lain namun Prilly memilih diam karena dia tahu mungkin Ibunya kecewa padanya hingga berubah dingin seperti ini.
"Kantin Buk. Prilly mau cari sarapan."Jawabnya seperti nada biasa. Prilly tidak ingin memperlihatkan kekecewaannya pada Maryam karena dia tahu Maryam tentu saja lebih kecewa padanya.
Maryam menggerakkan tubuhnya bermaksud bersandar pada dinding dibelakangnya Prilly ingin beranjak membantu Ibunya namun suara Maryam terlebih dahulu menahan langkahnya.
"Nggak perlu kamu bantu Ibu bisa sendiri!"
Prilly menghela nafasnya, sepertinya perang dingin ini akan terus berlanjut. "Ya sudah kalau begitu Prilly tinggal dulu ya Buk. Ibu mau titip apa?"
Maryam menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Prilly tersenyum manis pada Ibunya sebelum berbalik berniat meninggalkan ruangan namun kembali suara Maryam menahan langkahnya.
"Seberapa kuat kamu memperjuangkan cintamu pada anak pembunuh itu sekuat itu pula Ibu menentang kalian!"
Prilly memejamkan matanya kepalanya semakin berdenyut nyeri di pagi buta seperti ini Ibunya sudah kembali memulai perdebatan di antara mereka.
"Buk bukan maksudku untuk kurang ajar tapi tidak bisakah Ibu bermurah hati untuk tidak memulai perdebatan kita di pagi buta seperti ini? Kita masih dalam kondisi tidak baik untuk membuka suara Buk."Prilly berbalik menatap Ibunya dengan pandangan memohon. "Tolong Buk. Biarkan Prilly bernafas sebentar saja."pintanya kembali.
Maryam membuang pandangannya dari Prilly memilih menatap keluar lewat jendela di dalam kamar inapnya suasana di luar yang mulai terang lebih menarik dari pada pandangan sendu putrinya.
"Ibu hanya tidak ingin kamu terluka Nak."bisiknya penuh kepedihan.
Prilly yang tidak bisa mendengar apa yang baru saja dikatakan Ibunya kembali bertanya. "Ibu bicara apa?"
Maryam menggelengkan kepalanya. "Tidak ada. Ibu tetap pada pendirian Ibu apapun yang terjadi Ibu tidak akan pernah memberi restu Ibu padamu dan anak pembunuh itu."
Prilly tersenyum miris menatap Ibunya dengan mata berkaca-kaca. "Termasuk dengan kehilangan aku?"
Maryam menoleh menatap putrinya bingung. "Maksud kamu apa? Kamu mau meninggalkan Ibu karena Ibu melarang kamu berhubungan dengan keluarga pembunuh itu iya?!"
Prilly tersenyum lemah seiring dengan satu tetes air mata yang tumpah dipipi kanannya. "Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi ke depannya Buk termasuk dengan kepergianku yang mungkin saja menyusul Ayah."
"JANGAN BERBICARA SEMBARANGAN PRILLY!!"
"Tidak Buk. Aku tidak berbicara sembarangan karena perasaan aku mengatakan tanpa Ali hidupku layaknya kematian."Prilly sadar apa yang baru saja keluar dari mulutnya mungkin akan melukai Maryam tapi dia tidak bisa berbohong hidupnya tidak akan sama lagi seperti dulu tanpa Ali karena dirinya sudah begitu jauh terikat bersama Ali.
Maryam menatap putrinya terluka, "Jadi semuanya karena Ali? Bahkan kehadiran Ibu sama sekali tidak cukup untuk menjadi alasan kamu untuk hidup? Dulu sebelum ada Ali kamu baik-baik saja hidup bersama Ibu."Maryam berkata dengan suara berubah lirih.
Prilly menelan ludah sendiri, benar dulu hidupnya baik-baik saja bersama Maryam tapi sekarang semuanya telah berubah. Ali sudah menyusup terlalu jauh ke dalam hatinya. Jika dia salah silahkan hujat dia tapi satu hal yang harus kita tahu semua yang terjadi adalah kehendak Tuhan.
Termasuk dirinya yang melabuhkan hatinya pada sosok Ali semua itu murni kehendak Tuhan.
Lalu ketika Tuhan sudah berkehendak bisakah hamba hina seperti kita menentang kehendak Tuhan?
"Buk tidak bisakah kita memulai semuanya dari awal? Tidak bisakah Ibu memaafkan Om Aji dan membiarkan aku bahagia bersama Ali?"Prilly mulai frustasi ketika denyutan di kepalanya semakin menambah kefrustasiannya.
Maryam mendongak menatap putrinya. "Tidak akan!"
Prilly tersenyum miris, "Apa Ibu yakin? Ibu yakin dengan dendam Ibu ini Ayah akan bahagia disana?"Tanyanya lagi.
Maryam mengepalkan tangannya, "Ibu melakukan ini demi Ayahmu."
"Bukan! Ibu melakukan ini karena dendam Ibu sendiri bukan demi Ayah. Aku tahu Om Aji bersalah beliau memang seorang bajingan tapi pantaskah semua kesalahan yang Om Aji lakukan Ibu timpakan pada Ali yang tidak tahu apa-apa? Kami nggak bersalah Buk, kami sama sekali tidak terlibat dalam pertikaian kalian dulu tapi kenapa harus kami yang menanggung semua kesakitan ini? Kenapa Buk? Kenapa?"Prilly mulai meneteskan air matanya.
Prilly tidak dapat lagi menahan emosinya hingga berakhir dengan dirinya menangis terisak-isak di hadapan Maryam yang terlihat terpekur di atas ranjangnya.
"Kami tidak bersalah Buk. Cinta kami tidak salah tapi kenapa kami harus semenderita ini?"Prilly kembali mempertanyakan hal yang sama pada Maryam yang memilih bungkam.
Setelah puas menangis di hadapan Ibunya setengah jam kemudian Prilly sudah berada dikantin rumah sakit. Prilly berlari keluar dari kamar ibunya membawa kekecewaan karena ibunya tak kunjung membuka suara.
Prilly menyesap pelan segelas teh hangat yang dia pesankan tadi. Tubuh Prilly benar-benar tidak dalam kondisi fit. Prilly merasa seperti kedinginan bahkan tubuhnya menggigil namun keringat dingin mulai bermunculan di dahinya juga suhu tubuhnya mulai naik.
Prilly demam dia sadar itu hanya saja dia memilih abai. Ketidakhadiran Ali disisinya semakin menambah kesakitan Prilly. Memijit pelipisnya pelan, Prilly tidak bisa memungkiri kalau dirinya kecewa sekaligus khawatir dengan keadaan Ali sejak semalam pria itu tak kunjung memberinya kabar.
Apa Ali memilih menyerah pada cinta mereka? Tapi bagaimana mungkin bukankah pria itu berjanji akan memperjuangkan dirinya jadi bagaimana mungkin Ali menyerah di saat pria itu bahkan belum memulai perjuangannya sama sekali.
Prilly meringis pelan, kepalanya bisa meledak jika terus dia paksakan untuk berfikir tentang Ali. Jadi lebih baik dia memasrahkan semuanya pada Tuhan jika Tuhan berkenan menjodohkan dirinya dengan Ali maka dia yakin seberat apapun cobaannya dia akan bersama dengan Ali tapi jika tidak? Semoga Tuhan berkenan merubah takdir nya hingga dirinya bisa bersatu dengan Ali.
Karena hanya Ali satu-satunya pria yang dia inginkan di dunia ini. Hanya Ali.
Prilly segera beranjak dari kursinya dia harus cepat-cepat memeriksa dirinya sebelum tubuhnya semakin lemah Prilly tidak ingin jatuh sakit disaat-saat seperti ini namun kembali lagi ketika Tuhan berkehendak maka tidak ada yang bisa menghalanginya begitu pula ketika Tuhan menghendaki Prilly jatuh tak sadarkan diri di kantin rumah sakit.
Ah rupanya takdir Tuhan memang tidak selalu sesuai dengan apa yang kita inginkan bukan?
*****