Bab 24

3.1K 380 22
                                    


Maryam baru akan menekan saklar lampu saat tiba-tiba dia teringat kebiasaan putrinya. Prilly jika sudah terbangun maka sangat sulit untuk tidur kembali.

Maryam menghela nafas dari pada menekan saklar dia lebih memilih mendekati ranjang putrinya. Senyumannya mengembang saat melihat putrinya tertidur dengan menyelimuti seluruh tubuhnya.

"Tidur kok kayak dibedong gini Nak. Nggak pengap apa?"

Maryam hanya melihat gundukan diatas ranjang yang dia fikir putrinya dengan pencahayaan remang-remang pantulan cahaya dari ventilasi udara yang ada dipintu kamar Prilly. Lampu ruangan tamu belum di matikan olehnya jadi melalui pencahayaan remang-remang itu Maryam bisa sedikit melihat putrinya.

Suasana kamar putrinya memang gelap karena tidak ada satupun lampu tidur yang dihidupkan mungkin tidur seperti ini bisa membuat putrinya lebih nyenyak.

Maryam kembali memundurkan langkahnya untuk meninggalkan kamar sang Putri. Dia berjalan pelan sekali agar suara langkah nya tidak sampai membangunkan Prilly. Masih terlalu dini hari untuk putrinya bangun kasihan putrinya kalau harus begadang padahal besok pagi Prilly harus ke toko.

"Selamat tidur putri kesayangan Ibu."Kata Maryam sebelum menutup pintu kamar Prilly secara perlahan.

**

Winda terpaksa harus keluar dari ruangan Aji ketika seorang perawat menghampirinya. "Mohon maaf Nyonya anda harus menunggu diluar karena Tuan Aji memerlukan penanganan Dokter."

Winda terduduk lesu diatas kursi yang disediakan rumah sakit. Dia menoleh ke kiri dan kanan untuk melihat Ali putranya entah pergi kemana saat ini.

Ali dan Prilly serempak menghilang dan Winda tidak bisa berfikir lagi ketika melihat kondisi Aji membuat kinerja jantungnya benar-benar drop bahkan Winda baru sadar kalau ponselnya ada didalam ruangan ketika ia ingin menghubungi putranya.

"Mas kamu dimana Nak?"Ujar Winda disela isak tangisnya.

Winda menangis sesenggukan dia benar-benar ketakutan saat ini. Dia tidak ingin Aji kenapa-napa meskipun Aji sudah melukai hatinya tapi jauh di dalam lubuk hatinya Winda masih sangat mencintai Aji.

Dia memang memerlukan waktu untuk menyembuhkan luka di hatinya tapi Demi Tuhan dia belum bisa merelakan jika Aji pergi meninggalkan dirinya.

"Mas kamu harus bertahan! Kamu belum melakukan penebusan atas luka yang kamu berikan untukku dan putra kita."Winda mengusap kasar air matanya yang tak kunjung berhenti menetes.

Winda menenggelamkan wajahnya di kedua telapak tangannya lalu menangis tergugu di sana. Suasana rumah sakit yang sudah mulai sepi karena sudah dini hari kini terisi dengan isak tangis Winda yang terdengar begitu memilukan.

**

"Bagaimana keadaannya Dokter?"Ali segera menghampiri Dokter yang baru saja keluar dari UGD, Dokter ini adalah Dokter yang menangani Prilly tadi.

Dokter paruh baya itu tersenyum ramah sambil menepuk pelan bahu Ali. "Tenang saja. Istri Anda tidak apa-apa Tuan."Jawabnya kalem.

Ali segera menghembuskan nafasnya perasaannya benar-benar lega sekarang. "Terima kasih Dokter. Terima kasih."Ali menggenggam erat tangan Dokter itu semua dia lakukan tanpa disadarinya.

Dokter itu kembali tersenyum, "Sama-sama Tuan. Perbanyak sabar dan berdoa Insya Allah kedepan Anda akan mendapatkan kabar bahagia."Ujar Dokter itu yang membuat kening Ali berkerut bingung.

"Maksud Dokter gimana ya?"Tanyanya polos.

Dokter paruh baya itu kembali menepuk bahu Ali. "Memang semua reaksi suami seperti Anda tadi ketika melihat istrinya pingsan mungkin tidak semua gejala kehamilan ditandai dengan kehilangan kesadaran. Tapi saya yakin cepat atau lambat Anda akan mendapat kabar gembira seperti suami lainnya."

Ali malah semakin bingung dengan rentetan kata yang keluar dari mulut Dokter itu sehingga yang dia lakukan hanya tersenyum kikuk bahkan ketika Dokter terus mengatakan untuk 'berusaha' dan 'tingkatkan permainan' yang Ali lakukan hanya menganggukkan kepala seperti orang bodoh.

'Ini Dokter kenapa asik bahas permainan aja sih?'

"Ya sudah kalau begitu saya permisi dulu."

'Kenapa nggak dari tadi sih Dokter?'

'"Silahkan Dokter. Sekali lagi terima kasih banyak."Ali kembali menjabat tangan Dokter sebelum Dokter itu berbalik dan meninggalkan dirinya.

Ali menghela nafas kembali sebelum beranjak memasuki UGD untuk menemui Prilly. Perlahan dia buka pintu UGD pemandangan pertama yang ia lihat adalah Prilly yang menangis tersedu-sedu di atas ranjang rumah sakit.

Wajah gadis itu masih pucat dan mungkin semakin pucat karena terlalu lama menangis.

"Prilly."Panggil Ali lirih.

Prilly yang tengah menangis menoleh dan menatap Ali yang sedang berjalan kearahnya. "Mau ngapain kamu disini?"Tanyanya dengan suara bergetar.

Prilly ingin berteriak memaki Ali memaki putra dari pria yang sudah tega berbuat keji pada orang tuanya. Tapi dia tidak bisa melihat wajah sendu Ali malah membuat tangisnya semakin menjadi-jadi.

Prilly kembali terisak-isak di hadapan Ali. Tanpa menunggu lagi Ali segera mendudukkan bokongnya di sisi ranjang Prilly lalu membawa gadis itu ke dalam pelukannya.

Dan di dada Ali tangis Prilly kembali pecah. Prilly meremas kuat baju Ali mencengkram erat punggung Ali seolah menancapkan kesakitannya disana.

"Hiks..hiks.."

Ali semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh mungil yang bergetar di dalam pelukannya. "Ke..kenapa harus aku? Kenapa harus Ibu aku yang mengalami hal itu? Hiks."Prilly meracau disela isak tangisnya.

Ali bungkam. Dia tahu harus menjawab apa karena dirinya juga sama bingungnya dengan Prilly. Dirinya masih bertanya-tanya apa sebabnya sang Papa tega mengkhianati sang Mama dengan cara keji seperti itu.

Tindakan keji sang Ayah tidak hanya menyakiti Ibunya tapi juga keluarga Prilly. Lalu apa yang harus dia lakukan sekarang?

Jangan goyah Ali! Jangan goyah! Tetap ingat tujuan utamamu mendekati gadis ini. Gadis dalam rengkuhanmu saat ini suatu saat nanti akan mendepakmu dari tahta yang seharusnya menjadi milikmu.

Ali memejamkan matanya dia tidak ingin memikirkan warisan itu saat ini. Kesakitan Prilly perlahan masuk menyusup ke dalam relung hatinya.

"Maafkan Papa."Hanya itu yang bisa diucapkan Ali.

Prilly melepaskan pelukannya dari tubuh Ali lalu menatap Ali tajam. "Maaf? Maaf katamu? Lo nggak liat apa yang udah bokap lo lakuin terhadap keluarga gue hah?!"Hardik Prilly membuat Ali begitu terkejut.

Ali tergagap dia tidak menyangka Prilly akan berubah dalam hitungan detik. "Maksudku.."

"Pergi!"

Ali terdiam. Matanya menyorot Prilly penuh perhitungan namun Prilly sama sekali tidak gentar dengan berani dia membalas tatapan mata Ali, Prilly tidak menutupi kebenciannya pada Ali dan keluarganya.

"Dengerin dulu penjelasan Papa aku."Ali memohon penuh frustasi.

"Pembunuh!"

Deg!

Ali merasakan detak jantungnya berhenti sesaat. Prilly semakin memusatkan tatapan tajamnya pada Ali. "Bokap lo nggak lebih dari seorang pembunuh!"Tekan Prilly lagi.

Ali mengepalkan tangannya kuat-kuat, rahangnya seketika mengeras. "Tarik kembali kata-kata kamu Prilly!"Ali memang membenci perbuatan Ayahnya tapi sebagai anak dia jelas tidak terima Ayahnya dihina seperti ini.

Prilly mendengus lalu tersenyum miring. "Bukan cuma pembunuh! Tapi bokap lo lebih keji dari itu. Penjahat Kelamin! Bokap lo seorang pemerkosa!"Prilly menekankan setiap kata yang keluar dari mulutnya tak lupa dengan seringai yang membuat Ali terpaku.

*****

Warisan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang