Bab 23

3K 352 11
                                    


Winda meneguk teh hangat yang baru saja dia pesan. Setelah melarikan diri dari ruangan suaminya, Winda memilih berjalan hingga sampai dikantin rumah sakit. Sesampainya disana Winda memesan segelas teh hangat untuk menenangkan hatinya yang bergejolak.

Winda menyusut pelan air matanya yang terus saja menetes. Winda ingin berteriak menangis meraung meluapkan rasa sakit dan juga kecewanya. Kenapa Aji pria yang sangat dia cintai bisa berlaku sekejam ini padanya? Apa salahnya?

Winda menangis terisak-isak sambil menundukkan kepalanya agar orang-orang yang berada di kantin tidak bisa melihat kesedihannya. Winda mengusap wajahnya dengan kasar lalu menegakkan kepalanya.

Winda berusaha menetralkan rasa sakit di dadanya. Dia tidak boleh terlihat seperti ini di depan putranya, dia tidak ingin Ali membenci Papanya. Cukup hatinya yang sakit jangan sampai Ali putra kesayangannya juga merasakan kekecewaan seperti yang ia rasakan.

"Kuat Winda! Kuat! Kamu masih punya Ali, Ali pasti akan mengobati luka yang ditimbulkan suami kamu."Winda berbicara sendiri, menguatkan dirinya sendiri.

Ditengah terpaan lukanya saat ini kehadiran Ali bak angin surga yang menyejukkan hatinya.

"Mama janji Mas. Mama janji akan kuat akan bertahan demi kamu Nak."Winda kembali bergumam sendirian.

Menyesap kembali teh hangatnya Winda ingin beranjak sampai tiba-tiba kursi didepannya di seret oleh seseorang.

Winda mendongak menatap pemilik tangan yang menarik kursi didepannya. Matanya seketika membulat saat melihat sosok yang duduk di hadapannya.

"Mas Arlan.."

**

Ali segera membopong Prilly tanpa menghiraukan Aji yang memanggil namanya dan Prilly. Ali benar-benar khawatir melihat wajah Prilly yang memucat dalam gendongannya.

"Tolong! Suster Tolong!!"Ali berteriak memanggil Suster agar segera menolong Prilly.

Dua orang Suster berlari tergopoh-gopoh menuju Ali yang kalap terus berteriak memanggil Dokter dan Suster. "Baringkan istrinya disini Mas."Suster yang datang segera mendorong brangkar rumah sakit ke hadapan Ali.

Dengan cepat Ali membaringkan Prilly disana. Ali ikut mendorong brangkar Prilly hingga ke depan UGD lalu berhenti ketika Suster melarangnya untuk ikut masuk ke dalam.

Ali berjalan mondar-mandir di depan UGD, perasaan cemasnya benar-benar tidak bisa di kondisikan setelah melihat keadaan Prilly tadi. Ali bahkan tidak sadar sudah meninggalkan Papanya sendirian di dalam ruangan.

Ali meremas rambutnya kuat-kuat, dia benar-benar tidak menyangka Papanya akan tega berbuat sekeji itu.

Pemerkosa? Gila.

Dia tidak menyangka kalau Papanya akan menyandang gelar itu. Meskipun tidak sampai melakukannya tapi tetap saja percobaan perkosaan yang dilakukan Papanya sama hinanya dengan pemerkosa.

Ali terus berjalan mondar-mandir di depan UGD dia tidak akan bisa tenang sebelum Dokter keluar dan memberitahu dirinya kalau Prilly baik-baik saja.

Winda melangkahkan kakinya menuju ruang dimana suaminya di rawat dia tidak sadar kalau sudah menghabiskan waktu hampir dua jam dengan berbincang bersama Arlan sahabat suaminya.

Winda tidak menceritakan apapun tentang masalahnya dia hanya mengatakan kalau Aji terkena demam biasa dan harus di rawat untuk saat ini Winda benar-benar tidak ingin ada orang luar walaupun Arlan tidak bisa dikatakan orang luar tapi tetap saja dia tidak ingin aib suaminya sampai tercium orang lain.

Walau bagaimanapun dia tidak akan tega mempermalukan suaminya meskipun Aji begitu tega bahkan sangat tega menodai cintanya. Winda kembali mengusap airmatanya yang kembali menetes rasanya air matanya akan kering jika terus saja menetes seperti ini untung saja Arlan tidak terlalu banyak bertanya tentang wajahnya yang sembab.

Winda mengusap air matanya lalu menarik nafas dalam-dalam sebelum menguatkan diri untuk membuka pintu ruang rawat suaminya. Winda melangkahkan kakinya dan matanya sontak membulat saat melihat Aji yang drop dan sedang ditangani oleh Dokter.

"Ya Tuhan Mas Aji.."

**

Seorang wanita paruh baya terlihat begitu gelisah didalam tidurnya berkali-kali terdengar rintihan meminta pertolongan lolos dari bibirnya yang kering.

"Tolong..Mas jangan! tolong!"

Gerakan gelisah dengan tubuh bergetar hebat menandakan bahwa mimpi yang sedang dialami wanita itu adalah mimpi buruk. Tubuh bergetarnya menandakan kalau dia sedang dilanda ketakutan hebat.

"Jangan Mas! Ingat aku ini istri sahabat kamu! Mas tolong menjauh dariku!!"

Rintihan ketakutan itu semakin terdengar lirih sarat akan permohonan sampai di dalam mimpinya terdengar robekan kain hingga akhirnya perempuan itu terjaga dengan teriakan histeris yang menggema di tengah heningnya malam.

"Aaaargfhh!!!"

Wanita itu adalah Maryam. Dengan deru nafas beradu dengan debaran jantungnya Maryam seperti orang linglung ketika terduduk diatas ranjangnya.

"Ya Allah cuma mimpi. Kenapa mimpi itu datang lagi?"Katanya dengan tubuh bergetar hebat serta keringat yang membasahi wajah dan tubuhnya.

Maryam menurunkan kakinya menginjak lantai sebelum bergerak meninggalkan ranjang. Dia butuh minum karena tenggorokannya terasa sangat kering akibat berteriak tadi.

Maryam membuka pintu kamarnya lalu berjalan menuju saklar lampu menekannya hingga ruangan dirumahnya terang benderang. Maryam berjalan pelan-pelan menuju dapur, lututnya masih terasa bergetar setelah memimpikan masa lalunya tadi.

Maryam menggelengkan kepalanya berusaha mengenyahkan bayangan tangan Aji yang berusaha menyentuhnya. Cepat-cepat Maryam menuangkan air putih ke dalam gelas dia harus segera tenang dia tidak boleh larut dalam bayangan masa lalu yang mengerikan itu.

Maryam menarik kursi di meja makan lalu menghempaskan bokongnya disana. Maryam meneguk kembali air putih di dalam gelas yang berada dalam genggamannya setelah merasa tenang Maryam meninggalkan meja makan berniat kembali ke kamarnya untuk melanjutkan tidur.

Sambil melangkah Maryam melihat jam yang tergantung di dinding rumah. "Masih dini hari sekali."Desah Maryam saat melihat jam baru menunjukkan pukul 1 pagi.

Maryam melangkahkan kakinya menuju kamar Prilly, dia ingin melihat putrinya dahulu sebelum kembali ke kamarnya.

Maryam berusaha untuk sangat hati-hati dalam melangkahkan kakinya agar tidak tersandung atau parahnya terjatuh jujur saja jantungnya masih terus berdetak dan lututnya juga masih terasa bergetar meskipun tidak separah tadi. Maryam masih merasa mimpi buruk itu terus mengikutinya.

Maryam tiba di depan kamar Prilly dengan perlahan dia memegang knop pintu lalu memutarnya pelan, dia berusaha semaksimal mungkin agar tidak membangunkan putrinya ketika membuka pintu kamar.

Maryam mendorong perlahan pintu kamar dan suasana gelap langsung memenuhi pandangannya. "Tumben sekali Prilly mematikan lampu seperti ini."bisik Maryam pada dirinya sendiri.

Bukan apa-apa biasanya jika mematikan lampu kamar biasanya gadisnya itu menghidupkan lampu kecil yang berada di meja kecil dekat ranjang tapi ini suasana kamar Prilly benar-benar gelap seketika Maryam di hantui ketakutan jangan sampai ada sesuatu pada putrinya.

Dengan cepat Maryam berjalan memasuki kamar putrinya. Semoga putrinya baik-baik saja.

*****

Warisan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang